Semasa remaja, saya mengaji usai magrib, dan pulang selepas isya. Bersepeda, melintasi pematang sawah, sambil melihat bintang-bintang diselingi suara-suara alam. Lama kelamaan fenomena itu terasa syahdu dan saya kerap menghentikan sepeda di tengah sawah, di malam buta. Bahkan sebelum kami bisa mengaji dengan benar, bertasbih dengan tajwid yang pas, alam sudah dekat dengan kami, mungkin karena kami anak-anak kampung.
Imajinasi bawaan, menambah banyak yang ”bisa dirasa”. Apalagi ketika tajwid bertemu, maka seluruh rasa akan bersatu dengan alam, bintang-bintang malam ketika pulang. Syahdu dan penuh kesadaran akan diri.
Bagaimana kini? Saya sudah beranak—punya anak maksudnya—. Habis pengajian anak-anak pulang naik mobil, lalu memasuki restoran franchise. Saya lihat banyak kaum ibu ”masa kini” juga begitu. Usai pengajian masuki mall dan restoran franchise barat, penuh kebanggaan, bercanda ria dan melupakan alam, bumi tempat berpijak. Tidak ada lagi interaksi dengan alam. Lingkungan yang tertutup dan ”mati rasa” atas alam.
Adalah kemunafikan ketika mencampurkan produk kapitalism (duniawi) dengan spirit agama. Tidak ada kebangkitan Intelijensia Spiritualism/IS (via pengajian) akibat terhalang tembok keduniawian. Pengajian berakhir dengan pembicaraan dunia, harta, bahasan sinetron dan gosip infotainment. Sungguh pengajian yang sia-sia. Apalagi tanpa tajwid dan dengan bacaan fals, kosong, tidak akan menemukan dan merasakan apa-apa. Bahkan nuansa seperti ini terlihat dalam rumah orang-orang yang konon mengerti agama. Sesuatu yang berbau spiritualism menjadi kampungan. Seolah irama dangdut saja, boleh disuka (amalkan) boleh tidak. Standar materilah yang menjadi tolok ukur.
Itulah yang kita lihat di zaman ini. Dan situasi hidup yang seperti saat inilah hasilnya. Kemunafikan, dan pembangkangan diam-diam yang merajalela, atas moralitas. Tidak ada lagi romantisme menjadi orang beragama.
Lihatlah di mana agama-agama muncul. Padang pasir yang tidak menghalangi manusia melihat jagad raya. Bintang-gemintang. Lalu muncul kesadaran (kecilnya) diri sendiri. Fisik yang lemah di tengah alam yang garang. Kini sebaliknya. Manusia merasa dirinya garang, dan alam bisa dipermainkan, dilupakan. Fokus hidup humanisme dan sosialisme berganti materialisme.
Semangat merenung berkurang ketika segala bentuk materi buatan manusia membentuk semangat hedonisme. Pembangkangan moral, merubah kesadaran humanisme menjadi hewani, bahkan lebih rendah dari itu. Ini sebuah takdir, entah manusia menyadarinya atau tidak. Alam (bumi) pun akan membusuk akibat kekejaman pola fikir post modern dengan otak yang diisntall berbagai program yang berbasis kapitalisme. Operating system otak pun berubah, dan sangat tidak bisa dikenali dengan semangat IS. Berbeda hardware buatan manusia, jaringan otak tidak bisa menerima dengan mudah pergantian dari sistem operasi ”windows” ke ”linux” misalnya. Kalaupun bisa, itu perlu proses—berfikir—dan nalar yang bagus yang harus dibangun secara gradual.
Kita menyambut revolusi teknologi dan kemajuan zaman dengan tidak mampu menambah kemampuan nalar dan restorasi budaya berfikir. Dan tampaknya ini memang sulit dihindari dan diubah. Semangat duniawi yang membara sudah sedemikian jauh merusak pola pengajian yang berbasis systim operasi yang terukur, ikhlas dan jujur, seperti masa lalu. Bila ingin moralitas dengan segala kejujuran yang alamiah bangkit kembali, kembalikanlah pengajian yang dekat dengan alam pada anak-anak. Biarlah mereka melihat bintang, mendengungkan ayat-ayat lalu merenung sebelum pulang mengaji, dan tidur dengan mimpi yang alamiah. Bukan mimpi mobil mewah, kehidupan artis hingga politikus, apalagi mimpi menjadi Obama.
Sebuah pilihan sederhana yang amat sulit di zaman seperti ini. Mungkin memang bukan masanya lagi? Hidup memang terus berubah, hadapilah segala resikonya, jangan bersikap manja dan munafik. Ini tidak baik bagi atmosfir bumi. Sama buruknya dengan karbon monoksida dan nitrogenmonoksida. Emisi yang sungguh buruk! Bila tidak percaya, tanyalah bintang-bintang dan galaksi yang bertebaran di angkasa. Mengajilah bersama mereka.[]
Masa lalu tetap diaman ditempatnya ia tersimpan dalam kenangan dalam sebuah peti. Masa depan begitu berapi-api. Mungkin kita adalah produk masa lalu yang mencoba bertahan menghadapi masa depan.