Kemarin, saat camar pulang ke sarang, si Anu menatap senja merah. Namun tak seperti hari yang sudah-sudah, kemarin senja di pulaunya merah disulut api.
Si Anu dulu seorang pemburu. Ia punya kelompok berburu. Ia pandai memburu rusa di kaki bukit tak bertuan. Setiap hari ia memburu, ada hari yang beruntung baginya, dapat membawa pulang tiga ekor rusa, ada yang hanya dapat seekor, bahkan ada yang tak satu pun. Dia pernah memburu saat mabuk laut. Hari itu ia membidik seekor rusa jantan. Binatang liar itu naas, terkena panah saktinya.
Si Anu di kampong aneh di sebuah pulau yang bernama Ana pun membawa pulang binatang buruannya dengan hati girang. Ia membawa bangkai itu ke hadapan penghulu kampong. Ia pikir, orang kampungnya akan mengelu-elukan ia sebagai pemburu hebat, yang bisa membawa pulang seekor rusa tak bertanduk.
Tak seperti dugaannya, ternyata penduduk kampong Ana itu, malah mencibirnya. Si Anu pening dan bertanya pada orang yang mencibir itu. “Kenapa kalian mencibir? Seharusnya kalian bilang aku pemburu hebat!”
“Bagaimana kau kusebut pemburu hebat, sedangkan yang kau bawa hanya seekor babi jantan?” jawab perempuan kurus di sampingnya. Mendengar itu, Si Anu diam. Ia tak menjawab apa-apa lagi. Ia hanya meneguk secawan tuak dari kendi tembikarnya. Ia pun pergi ke hutan lagi, ingin memburu rusa jantan. Sampai di hutan, ia tak menemukan seekor rusa pun.
Namun tiba-tiba, Si Anu melihat sebuah benda kuning berkilauan di sebuah lobang batu dalam gua yang jarang dimasuki, kecuali oleh para perampok yang berkedok pejabat di kampong aneh itu. “Wah, emas! Aku kaya!” teriak Si Anu. Ternyata benda itu memang emas peninggalan Belanda yang disembunyikan oleh seseorang di negeri antah berantah. Setelah itu, di kampong aneh itu ada peraturan dilarang memburu. Itu dulu, dulu sekali, sebelum pulau Ana tak diizinkan lagi berburu.
Kemarin, Si Anu di kampong aneh di sebuah pulau yang bernama Ana, telah dikejutkan oleh sebuah warna, ya, warna, warna api. “Waw api! Aku suka api, apalagi api cinta!” teriak si Anu, seraya mendekati asal warna api di tepi pantai senja itu. Ia terus bersungut-sungut sambil berlari. Ia terus mendekati asal api. Namun ia heran, rasanya api itu berasal dari gudangnya, gudang tempat ia mengolah emas temuan dari gua Belanda itu.
Ia heran sendiri, rasanya tak mungkin emas bisa terbakar. Namun semakin ia dekati sumber api, semakin jelas, memang gudang pengolahan emasnya yang terbakar. Ia putar otak, mana mungkin emas yang katanya benda logam bisa terbakar. “Aku suka api cinta!” teriaknya lagi seraya mendekati api yang perlahan padam. Ia memeriksa emasnya. Aneh, kenapa emas kali ini bisa menjadi abu. Ia putar otak lagi, bagaimana emas itu bisa terbakar.
Pikir punya pikir, ia mendapat jawaban. Mungkin emas itu dibakar oleh orang yang membantunya saat berburu dulu. Saat berburu itu dilarang di pulau Ana, temannya tak punya mata pencarian lagi. Namun Si Anu telah punya emas sendiri. Ia tak mau membagi harta temuan itu. Dan temannya pun tak mau melihat orang lain berjingkrak-jingkrak atas hak mereka yang dirampas. Kini Si Anu di kampong Aneh di sebuah pulau yang bernama Ana, faham, mengapa emas bisa menjadi abu. Emas temuan yang semestinya ia bagi bersama teman-teman mantan pemburu di pulau yang bernama Ana itu.
“O api, aku suka api cinta, lebih aku suka lagi api emas!” Si Anu di kampong aneh di sebuah pulau yang bernama Ana pun meraba abu emas yang masih hangat.[]