Apa Maun gampong lon sedang pula pingkui di halaman. Mulutnya kebas dan berbusa liur. Ia sedang latihan orasi, sebagai persiapan kampanye Pileh Kaplat Daudak. Dalam pemilihan itu Apa Maun mencalonkan diri sebagai anggota Dede Waneukso. Apa Maun disebut Cabul Leugom.
Apa Maun berlatih orasi siang malam. Ia berlatih di halaman rumahnya. Ia berbicara dengan pohon seulanga dan bak pineung. Selain berlatih orasi, ia juga membeli banyak gula untuk disumbang kepada orang kampong. Ia pilih gula sebagai hadiah karena gula manis. Karena gula manis, maka setiap kata dia akan terasa manis terdengar. Ia bilang, orang kampong itu seperti sidom karena suka gula kampanyenya.
Kata Apa Maun, orang kampong itu seperti sidom yang kumiet boh rambot masak, baunya manis, boh rambot ditunggui ranum. Ketika boh rambot ranum, sidom ingin memakan manisnya. Begitulah kata Apa Maun untuk rakyat yang mengharap dapat syafaat bila partainya menang dan ia jadi Dede Waneukso.
Setelah sebulan latihan orasi dan beri gula kampanye, Apa Maun pun ubah sikap. Dulu ia berjalan dengan bahu terangkat seperi orang terkena TBC. Kini ia berjalan menunduk wajah pada setiap orang yang dijumpai di jalan kampong.
Dulu, ia pakai pakaian ala bandit film horror, kini pakaiannya mirip orang mau khotbah jumat. Dulu, bicaranya seperti orang makan cabe, kini bicaranya seperti seorang ibu menasehati anak tersayangnya. Apa Maun telah berubah selama menjadi Cabul Leugom di kampong tak bertuan itu.
Suatu hari, Apa Main datang ke rumah Apa Maun. Apa Main datang dengan seberkas dokumen tagihan utang pada Apa Maun. Apa Maun dulu, pernah memasang iklan di koran Apa Main. Namun sudah setahun, Apa Maun belum membayar honor publikasi.
“Saya datang tagih bayaran iklan,” tegur Apa Main.
“Ah, kau, tahu saja waktu tepat menagih utang. Tapi begini saja. Aku kini butuh uang banyak untuk beli gula kampanye. Jadi gimana kalau kita rapel saja. Kau pasang iklan aku jadi Cabul Leugom lagi, nanti setelah aku menang, pasti kubayar,” Apa Maun tersenyum pada Apa Main.
“Jangan merayuku seperti merayu orang kampung itu. Aku hanya mau uangku, aku tak mau janjimu lagi. Kalau kau tak membayar uang iklan itu, kau tak mau kupromosi di koranku lagi,” Apa Main menilik mata sipit Apa Maun.
“Baik. Aku bayar nanti setelah aku jadi anggota dewan. Kalau kau mau begitu, kubayar dua kali lipat,”
“Bilang saja kau tak punya niat penuhi janji.”
“Hai Apa Maun, akui saja bahwa kau tak yakin menang!” Apa Main berteriak seenaknya.
“Bicaramu tak nyambung!” gerutu Apa Maun.
“Aku hanya meniru janjimu dengan kemampuan yang kau miliki, yang tak nyambung itu.”
“Ah kau, macam tak tau perbuatan para Cabul Leugom saja! Tapi aku sudah jadi orang baik selama jadi Cabul Leugom,” Apa Maun mangut-mangut mantap.
“Mana uangku!” Apa Main berkacak pinggang, tunggu Apa Maun sang Cabul Leugom membayar hutangnya.
“Nanti kubayar, kalau aku telah jadi Dede Waneukso. Setelah jadi Dede Waneukso, aku mau buat proyek fiktif. Nah, dengan itulah kubayar hutangmu.”
“Apa Maun, tadi, kulihat anakmu mencuri kambing orang kampong sebelah,” Dokaha yang tiba-tiba muncul berteriak dari balik rimbunan tanaman bunga. Mendengar itu, Apa Maun pura-pura terkejut dan berlari. Berita Dokaha ia gunakan untuk mengalihkan perhatian Apa Main yang menagih hutang.
Apa Maun terbirit-birit seraya berpidato sendiri, latihan orasi di sepanjang jalan kampong tak bertuan. Apa Maun berencana menjadi tuan di kampong itu. Sementara di kampong sebelah, anaknya sedang dihajar pemilik kambing.[]