TAK ada angin tak ada hujan, subuh-subuh Amanruf telah berdiri di depan pintu. Ia sudah apik dengan pakaian takwanya. Baju koko dan kain sarungnya disetrika rapi. Sebuah peci hitam bertengger pasrah di atas rambut keritingnya. Benar-benar luar biasa penampilan Amanruf, aku saja jadi terpana, hampir tak mengenalinya lagi.
Tentu saja dapat ditebak dia ingin mengajakku salat subuh bareng. Aku tahu bukan itu misi utamanya tapi ada sesuatu yang tersembunyi dibalik senyum manisnya. Session selanjutnya pasti itu misi utama, asmara subuh.
Usai salat kami tebar pesona pada cewek-cewek yang bahenol yang nangkring di pinggir-pinggir jalan itu. Mukena border, sulaman, dan berenda-renda menambah ayu penampilan mereka. Tapi, tak ada yang lebih menarik bagi Amanruf kecuali gadis dengan mukena renda hoki sampai betis yang dikerumuni beberapa temannya itu. Dialah si Lela anak Pak Kadar yang lemah gemulai itu. Amanruf mengenalnya lebih dalam saat meliput ke Taman Budaya. Gadis itu adalah penari seudati, tarian Aceh yang terkenal seantero dunia itu.Setelah fearly sana-sani mulailah Amanruf beraksi, ia memaksaku mengikuti jalur jalan santai si Lela and the gank’s. inilah pertama kali aku dan Amanruf keliling-keliling usai salat Subuh. Ternyata asmara subuh membuat hati dan jiwa jadi lebih bersemangat, rasa-rasanya aku menjadi lelaki paling ganteng yang jadi pusat perhatian dan idaman para gadis. Sementara amanruf di bawahku. Apalagi ditambah peci hadiah Pak Samsul waktu pulang haji tahun kemarin membuat aku jadi tambah percaya diri.
Tapi lama-lama mataku gatal juga melihat kelakuan anak muda gampongku. Mereka tanpa dosa berdua-duaan di jalan-jalan, duduk di trotoar sambil tertawa hahahihi- hahahihi atau tersenyum malu-malu sambil tutup mulut. Yang paling parah lagi beberapa sejoli bahkan berpelukan di atas motor bagai pengantin baru yang baru menikah semalam dan digusur mertua dari kamar pengantin. Luar biasa romantisnya.
“Ruf, coba kaulihat itu, harusnya WH mengawasi acara asmara subuh ini agar tidak terjadi pelanggaran syariah.”
“Ah, biarkan saja, kau pun senang kan kalau bisa begitu dengan si Sari anak gadis kepala WH itu.”
“Kau jangan menggodaku, aku serius.” Kataku kesal.
“Kau harus liput ini Ruf,” kataku pada Amanruf, tapi kelihatannya ia tak mau ambil pusing, matanya terus tak lepas dari si Lela. Aku pun mulai asyik melihat gelagat Amanruf yang aneh itu. Ia senyam-senyum sendiri menikmati paras cantik penari seudati itu dari jauh.
Tapi akhirnya sesuatu yang memilkukan terjadi juga di pagi buta ini. Seorang pemuda menyantroni gadis itu dan sebuah jabatan penuh cinta membakar hati Amanruf. Pujaan hatinya dirampas orang.
Semuanya hancur seketika itu juga, kami langsung berputar haluan, pulang ke rumah masing-masing. Pagi-pagi benar Amanruf sudah siap dengan jas dan dasinya, tentu saja ia akan pergi meliput.
“Pagi benar kau meliput, Amanruf.” Sapaku.
“Kau benar Gam, aku harus meliput asmara subuh ini, sekarang juga aku akan mengkonfirmasi kepala WH di rumahnya.”
“Aku sangat mendukungmu, biar aku antarkan kau ke sana.” Tawarku penuh semangat, tentu saja aku bersemangat, ini pertama kalinya aku menginjakkan kaki di rumah kepala WH, rumah pujaan hatiku, adindaku seorang.
Urusan cinta memang tak kenal bulan. Anak muda sepertiku mudah sekali terjebak apalagi di bulan suci ini. Tapi tak apalah, sekali ini.
“Pak, kenapa WH tak mengawasi acara asmara subuh yang diwarnai dengan perbuatan maksiat?”
“O.. saya kira, itu tak perlu, di bulan Ramadhan iblis dan setan sudah dikurung oleh Allah jadi tak mungkin ada yang berbuat maksiat.” Kata kepala WH itu ringan.
Tapi sepertinya setan di mataku tak ikutan dikurung buktinya aku masih terus melirik-lirik foto anak gadis pak WH yang bertengger di dinding rumahnya.[]