Sesungguhnya ayam dalam bahasa latin disebut (gallus). Dia merupakan sejenis burung peliharaan. Telur dan dagingnya amatlah gurih bila sudah digoreng dan dibumbui. Biasa dimakan bersama nasi, sebagai lauk. Ia dipercayai berasal dari ayam hutan merah Asia (Asian Red Junglefowl). Ayam merupakan burung paling biasa di dunia. Populasinya konon mencapai 24 miliar ekor pada tahun 2003.
Ayam memakan apa saja. Dari bijian ke daunan dan dari serangga ke tikus. Namun, ayam ternak biasanya diberi makanan khas seperti biji-bijian dan sumber protein. Ayam ternak biasanya tidak dapat terbang begitu jauh.
Soal ayam ini patut saya ceritakan karena ayam ini pula pikiran saya kemana-mana. Suatu kali, begitu menginjakkan kaki di ruang kedatangan Bandara Iskandar Muda (IM) saya sudah dijemput T. Marzuki. Seulas senyum mengembang di bibirnya. “Lapar?” tanyanya. Hari sudah siang. Jelas saja, saya lapar.
“Kita makan ayam tangkap,” ujar Marzuki langsung membawa kami dengan mobil menuju suatu tempat.
Malu, rasanya untuk bertanya. Apa maksud “ayam tangkap” itu. Sebuah rumah makan bertuliskan “Ayam Tangkap” menjawab semua pertanyaan di benak saya. Ternyata hanyalah ayam biasa disatukan bersama dedaunan yang juga enak untuk disantap. Entah daun apa itu. Coba saya cicipi. Enak juga. Maka daun dan ayam itu pun ludes dalam sekejap.
“Ini sebelum dimasak, ditangkap dulu,” ucap T. Marzuki tanpa saya tanya.
Bicara soal ayam, mengandung banyak makna. Kalau di Jakarta, tempat saya tinggal hampir 20 tahun, banyak restoran dan rumah makan di ibukota menawarkan daging ayam. Ada “ayam kampung masuk kota” yang sudah ngetop lama. Ada juga “ayam perawan”. Tentu maksudnya ayam yang masih muda, tulangnya amat empuk sehingga begitu digigit langsung dikunyah berikut tulang dan dagingnya.
Di daerah Puncak Bogor, jika waktu malam tiba, ada yang menawarkan kita ayam kampung. Jangan lekas-lekas menganggukkan kepala, atau bilang, ya. Itu bisa gawat. Karena yang dimaksud adalah wanita nakal (PSK) dari kampung di sekitar kawasan tersebut.
Di kawasan sejuk itu banyak makelar yang siap mencarikan “ayam kampung”.
Marzuki terbengong-bengong mendengar cerita soal ayam. Dia memberi saya satu ayam, maka saya ceritakan dia banyak ayam.
“Wah, ini peluang bisnis,” katanya riang. “Kalau begitu saya mau buat rumah makan Ayam Perawan.” Dia tertawa ngakak.
Visi bisnis Marzuki agaknya lumayan juga. Saya lalu membayangkan rakyat Aceh memang kreatif dan penuh semangat. Sejak itu, isu bahwa orang Aceh agak pemalas, seperti dikeluhkan pengusaha yang saya temui di Jakarta agak kalis. Hanya ada sedikit keraguan. Jangan-jangan hanya dengan urusan perut saja mereka bersemangat. Bagaimana dengan urusan lain?
Kami menyisir kota Banda Aceh. Beberapa orang sedang menggali parit kabel berpeluh. “Itu orang mana?” saya bertanya. “Kayaknya bukan dari Banda Aceh,” jawab Marzuki.
Saya mengangguk-aguk. Saya teringat teman saya, Joko. Dia adalah pimpinan kontraktor yang membangun Swiss Bel Hotel yang kini menjadi Hotel Hermes. “Di Banda Aceh sulit mencari pekerja kasar,” katanya, saat dia menceritakan membawa 400 orang asal kampung halamannya dari Jawa.
“Bukankah di sana banyak korban tsunami yang membutuhkan pekerjaan?” tanyaku. Joko menceritakan sesuatu yang menurut saya kurang pas. “Ah, mungkin karena duit banyak mengalir di Banda Aceh sehingga mereka enggan jadi kuli,” kataku sekenanya.
Saya sampai detik ini masih percaya; orang Islam tidak pemalas. Subuh bangun salat subuh lalu setelah itu berpencar mencari rezki Allah. Semoga.[]