ARUS deras dipicu gelombang. Isteriku lagi belajar berenang di muara sungai landai berpasir. Pelatih renang tak lain adalah aku sendiri. “Itu ada ban hanyut” teriaknya yang sedang menepi di bibir kuala. Benar saja, sebuah ban sewaan berliuk-liuk terbawa arus. Bak di Film Baywatch bahkan lebih keren lagi, aku meluncur deras, sekuat tenaga aku gapai ban hitam itu.
Lega rasanya. Ban itu mungkin bisa sebagai pengganti aku melatih isteriku yang tak pandai berenang itu. Benar saja, dengan ban itu dia bisa berenang. Ternyata ban lebih pintar dariku.
Lebih jeli dari Aceh Monitoring Mission (AMM), aku mengawasinya yang berenang ria dibawah teriknya pagi itu.Tiba-tiba aku sadar, ban itu siapa yang sewa ya? Saat hanyut kok tak ada yang berteriak. Padahal, ban itu salah satu tempat menopang hidup si pemilik jasa penyewaan ban. kalau terbawa arus ke laut lepas, tentu saja jatah belanja istri dan sekolah anaknya ikut berkurang. Dimana tanggung jawab si penyewa itu?
Begitulah sebuah titik kepengecutan terlihat di balik keindahan muara sungai lhoknga hari itu. Rasa tak bertanggung jawab bukan hanya milik apa berdasi, berkursi besar di gedung raya panyang sana. Atau para pejabat yang sok jadi pemain “teater tsunami”, juga para pembo[h]rong yang menelantarkan proyeknya. Ataupun bak pemerkosa yang mencampakkan si gadis setelah enaknya tersalurkan.
Memang sangat sulit mencari insan yang bertanggung jawab di zaman secanggih ini. Hampir semua orang mengelak bila salahnya terbongkar. Tentu saja tak ada maling bodoh yang meneriaki dirinya maling. Tak ada yang seceroboh itu, kecuali sudah terbukti.
Mungkin Itulah budaya timur yang tumbuh subur, terjaga dan terpelihara hingga sekarang ditengah masyarakat Islam keturunan ini.
Tapi aku tak mau menjadi orang yang tak bertanggung jawab, bisa saja aku letakkan ban itu begitu saja dekat bot sana, tapi itu tak kulakukan. Dengan susah payah aku mencari pemiliki ban yang malang itu.
Seperti pahlawan kesiangan di bawah terik mentari kami mengembalikan ban hanyut itu pada pemiliknya, tentu saja setelah istriku lelah bercengkrama dengan si bundar itu.
“Di sini tempat penyewaan ban, tadi kami menemukan ban ini dan hampir di bawa arus ke bawah jembatan sana. Tapi kami sudah pakai.” Kataku.
“Oya, itu ban saya.” Kata polem itu. Aku, lagi-lagi, selalu saja berlagak jadi pahlawan. Melihat wajah polem itu yang seperti orang nagih parkir, sekonyong-konyong aku bertanya.
“Berapa sekali sewa?”
“Lima ribu saja.” Kata polem itu yakin. Aku pun dengan sigap memanggil istriku selaku ATM berjalan atau lebih sederhananya bendahara pribadi, meski uang dalam dompet tak terlalu banyak.
“Dek, uang lima ribu untuk bayar ban.”
“Kita sudah selamatkan ban itu, kok harus bayar pula.” Gerutunya di hadapan pemilik jasa. Aku jadi seperti mie bulut, tak enak pada polem itu, takut dianggap tak bertanggung jawab, tapi istriku lebih bertanggung jawab atas pengeluaran uang belanja.
“Harusnya ia ucapkan terima kasih, bukan malah meminta bayaran.” Sambung isteriku lagi tak puas-puas.[]