BBM, dipanjangkan menjadi Bahan Bakar Minyak. Itu kata wartawan. Dalam kamus tak ada kepanjangan begitu. Dulu. Tapi kata aneuk keumuenku, BBM itu berkepanjangan “Boh Boh Mantong.”
Tentulah aku merasakan aneh mendengar katanya. Kutanyakan maksudnya. Ia tak menjawab. Kutanya lagi, masih tak menjawab. Lalu aku pergi meninggalkannya. Maka ia mengejarku, seraya berteriak, “Ah, kau bodoh sekali, aku tak mau punya paman bodoh!”
Mendengarnya, aku jadi bodoh, karena memang tak tahu maksud bocah perempuan berusia enam tahun itu. Aku tetap pergi, tanpa bertanya lebih lanjut maksudnya. Tapi malah ia mengejarku lagi.
“Mengapa kau tak bertanya sampai jawaban kaudapat?” tanyanya.
“Karena pertanyaanmu pertanyaan bodoh,” jawabku.
“Kata ibuku, tak ada pertanyaan bodoh, yang ada hanya orang bodoh yang tak mau bertanya,” cibirnya.
“Baiklah, mengapa kaubilang begitu?” akhirnya aku mengalah.
“Nah! Begitu baru pamanku,” ia berkacak pinggang, melanjutkan, “Dengar baik-baik,” katanya sok berkuasa seperti ibunya bicara padanya.
“BBM memang boh-boh mantong. Coba kamu lihat,” katanya seperti bicara pada seorang teman sebaya.
“Bagaimana aku bisa paham itu,”
“Kau memang bodoh! Aku malas bicara pada orang bodoh!” teriaknya.
“Tadi kau bilang hanya orang bodoh yang bertanya, tadi aku telah bertanya, berarti aku tak bodoh, kan?”
“Betul. Kau sudah pandai. Aku mau bicara lagi,” ucap anak keumuenku.
“Nah, begitu, baru aneuek keumuen.”
“Dengar baik-baik. Minyak yang jadi bahan bakar itu telah disubsidi pemerintah. Kaulihat sendiri sekarang. Siapa yang banyak pakai minyak bakar itu. Apa orang miskin? Dan apakah itu dipakai untuk keperluan? Tidak, kan? Minyak bakar banyak dihabiskan untuk perjalanan tak berguna. Maka, seharusnya bahan bakar itu tak disubsidi oleh pemerintah. Karena kalau tak disubsidi, orang hanya pakai itu saat penting saja. Lagi pula, yang banyak menghabiskan bahan bakar selama ini adalah orang kaya. Jadi, uang subsidi selama ini banyak dimanfaatkan oleh orang kaya. Apakah itu adil menurutmu yang telah dewasa? Menurutku yang bocah, itu tak adil.”
Ceramah aneuk keumuenku yang memang suka bicara, bahkan dengan dinding pagar sekalipun.
“Terserah kamu. Tapi kudengar dan lihat di TV, bahan bakar minyak itu telah dimurahkan lagi.”
“Nah, itu dia. Makin banyak lagi uang negara hanya dipakai orang kaya saja. Padahal, itu hanya cara seseorang yang tinggi kursinya untuk merebut simpati warga negara.”
“Apa Maksudmu?”
“Ah, kau memang bodoh,”
“Maksudku jelas sekali, masa kau tak tahu itu. Itu dia, itu.”
“Apa?”
“Apa, ya? Itu yang di podium itu. O, aku ingat, kampoanye! Ya itu kampanye terselubung seseorang.”
“Benar juga, ya. Padahal dulu, bahan bakar minyak tak pernah turun kalau sudah naik. Ia memang tak pernah turun setelah naik, maksudku harga bahan bakar minyak tak pernah turun naik seperti orang panjat kelapa atau pohon pinang.”
“Tepat. Harga BBM turun setelah naik itu aneh. Biasanya yang naik turun memang orang panjat kelapa.”
“Pasti ada tujuan tersembunyi di balik itu.”
“Pasti. Eh, mungkin.” Jawab aneuk keumuenku.[]