Di tengah gempuran cemilan produk industri, saya tiba-tiba mau pulang ke kampung, mau makan beureunee dan lughok. Dulu kami sebagai anak-anak yang tumbuh di kampung, saat keluar dari rumah biasanya ikut mengisi penuh-penuh kantong baju dan celana dengan beureunee yang kami kunyah secomot demi secomot sembari bermain bersama.
Tetapi pada anak-anak sekarang, jenis cemilan seperti ini sudah tidak populer. Kini di setiap sudut kampung sudah ada kios-kios yang menjual cemilan produk industri seperti keripik kentang, cemilan coklat, roti, bolu dan sebagainya.
Dulu beureunee nyaris tersedia di setiap rumah, baik untuk cemilan pelalai waktu senggang maupun untuk bahan baku pembuatan beberapa jenis kue. Misalnya ie bu beureunee, timphan beureunee, lughok dan lughok u alias lughok teucang (Melayu: ongol-ongol). Empat macam kue itu, bahan bakunya adalah beureunee.
Satu di antara empat jenis kue berbahan baku beureunee yang paling populer adalah lughok. Proses pembuatannya sederhana. Sekumpulan beureunee, direndam air, dibalut dengan daun pisang, dikukus selama tiga puluh menit, lalu jadilah lughok.
Lughok tergolong kue tradisional Aceh paling popular di saat-saat musim panen. Para pemilik lahan selalu menyuguhkan lughok kepada para pekerja di kebunnya. Kepada kelompok pekerja perontok padi (ureueng cumeulho) juga disuguhkan lughok saat mereka ambil jeda.
Lughok adalah jenis penganan kecil yang bersifat mengenyangkan. Cocok disuguhkan kepada pekerja berat seumpama ureueng keumukoh dan ureueng cumeulho.
Perajin beureunee banyak terdapat di gampong saya. Di sini usaha pembuatan beureunee sudah mentradisi secara turun-temurun. Di halaman depan rumah-rumah para warga di sini rata-rata memiliki dapur masak beureunee. Tradisi kerajinan beureunee berawal dari keberadaan kawasan hutan sagu dengan luas puluhan hektar yang letaknya persis di pinggiran desa kami.
Pohon sagu (arecaceae, yaitu suku pinang-pinangan alias bak meuria) merupakan pohon bahan baku dasar pembuatan beureunee. Prosesnya, batang sagu dibelah, diambil isi batangnya, ditumbuk halus dengan cara tradisional atau pakai mesin, diperas airnya hingga mengkristal menjadi tepung sagu. Tepung inilah yang digongseng hingga mengeras dalam wujud butiran-butiran beureunee.
Boleh dibilang, dulu sebagaian besar beureunee yang beredar di Nanggroe adalah hasil produksi para ibu-ibu gampong saya. Rata-rata setengah ton beureunee dapat dihasilkan di kampong ini setiap hari.
Ketika hari itu saya tiba di kampung, saya baru tahu, kini, sehubungan dengan menghilangnya areal rawa-rawa pohon sagu akibat perkembangan laju pembangunan gedung-gedung hunian, orang-orang kampung tidak lagi membuat beureunee karena sudah tidak ada lagi bahan bakunya, apalagi mau mengukus cemilan tradisi yang mengenyangkan hasil warisan lama itu, lughok.
Ketika saya mengatakan kepada nenek tentang kerinduan saya ingin makan lughok seperti yang biasa kami makan waktu saya masih kecil dulu, nenek bagai tersentak, lalu terdiam lama sekali dengan mata menerawang dan berkaca-kaca.■
Di Ujung jln pondok Gede….
Iwan, ya, di ujung jalan itu dia melambai untuk terakhir kali. Terima kasih atas atensimu, kawan.