”Kalau sudah kadung cinta, apa saja rela dikorbankan. Tidak biasa tidur lewat poh siploh malam, kini mampu begadang dan hana teunget, sampai subuh,” kata Abu Din.
”Kalau sudah terbius bola sepak, apa pun sukarela dijalankan. Sehingga, terpaksa bangun kesiangan dan harus menghadapi si bos yang berkacak pinggang dengan mata nyalang,” ungkap Bejo, yang sedari tadi mendengar Abu Din bercakap tentang bola sepak.
”Selama pesta Bola Sepak, Euro 2008, isteri dan anak menjadi nomor dua. Apalagi urusan kantor, pasti menjadi urusan nomor sepuluh … eh bukan, tapi nomor dua puluh satu … he he he,” kata Abu Din.
”Alasannya?” tanya Bejo.
”Isteri sama anak… setiap hari kita liat. Kalau Euro kan enggak…,” kilah Abu Din yang sampai kini masih memegang predikat mania bola nomor wahid di Lamnga.
Berbicara bola sepak, Abu Din memang tidak ada habisnya. Mulai dari kaus kaki, hingga jenis dan warna baju kaos tim bola, dia hafal semua. Untuk kali ini, katanya, dia dukung Turki. Bukan Italia, Jerman atau Prancis yang akan jadi favorit juara.
”Alasannya, simpel saja. Karena di Turki, banyak orang Islam,” alasan Abu Din.
”Apa hubungannya?” Bejo tak paham.
”Hana laen…nyang peunteng Islam mantong, titek,” ucap Abu Din ngotot, seperti biasanya.
Kalau mau ditambah alasannya, kata Abu Din, ”Ureung Aceh ngon Turki, lagee aduen ngon adoe…. Seperti bunyi billboard yang terpampang di Simpang Surabaya, waktu baru-baru selesai tsunami, beberapa tahun lalu. Rumah sakit aja, bantuan Turky terkenal di Banda Aceh.”
”O, begitu. Tapi, apa hubungan bola sepak dengan Aceh, Abu?”
”Sebetulnya, bola itu senasib ngon ureung Aceh. Dipermainkan sejak dulu.”
”Nah … loh, kok ngomong begitu?”
Abu Din tak peduli. Dia ngomong lagi: ”Ureung Aceh sebenarnya lebih tahu masalah bola dari Eropa atau Amerika Latin.”
”Alasannya?” Bejo benar-benar tak paham.
”Yaah . . . karena sering dibola-bolakan,” jawab Abu, enteng.
Karena sering dibola-bola itu, menurut Abu Din seharusnya tim sepak bola Aceh bisa maju. ”Cuma sayang cit, nyang keunong sipak, nyan-nyan mantong. Nyang keunong sipak pih hana ditem meuruno…,” tambah Abu Din.
Bejo tampak bingung. Ngomong Abu Din sudah melantur ke mana-mana.
Di Amerika Latin, jelas Abu Din lagi, mereka sudah mengerti taktik dan strategi serta ilmu persepakbolaan. ”Kiper bertugas menjaga gawang, beck untuk upaya bertahan, wing sebagai pemberi umpan, geladang sebagai penerobos dan stricker sebagai pencetak gol. Nah, kalau di Aceh, semua orang ingin jadi stricker. Tak ada yang penahan di barisan belakang. Semua ingin jadi pembobol….”
”Jadi, karena itu sering kebobolan, ya Abu?” Bejo mulai agak paham.
”Alah hom lah, hai. Nyoe lon kameuteungeut that, singoh na rapat di kanto pagi-pagi. Teulat tajak, ’dibolakan’ lé Pemred euntreuk. Hihi..” katanya.
Beujo bengong sendiri.[]