Suasana dingin mencekam. Semalam hujan lebat sekali. Semilir angin dingin menembus pori-pori, membuat tulang ngilu. Baru sekejap rasanya mataku terpejam. Tahu-tahu subuh sudah datang saja. Sayup-sayup terdengar suara orang mengaji dari masjid gampong.
Antara sadar dan tidak, kudengar Pak Cek menggedor-gedor pintu kamar sambil berteriak-teriak seperti suami memanggil dukun beranak. Tak biasa-biasanya Pak Cek membangunkanku sepagi ini. Padahal azan subuh saja belum berkumandang.
Dengan agak malas kubuka mataku, sedikit meraba-raba aku buka pintu. Pak Cek telah berdiri di hadapanku. Pakaiannya rapi benar, mau ke masjidkah ia? Semoga ia tak mengajakku. Begitulah doa orang malas.
Tapi tentu saja itu tak mungkin, karena sudah dapat ditebak tujuan Pak Cek mengetuk pintu kamarku sepagi ini khusus untuk itu.
Belum apa-apa aku sudah disuruh cuci muka dan ganti kostum. Begitulah Pak Cek kalau sifat relegius lagi kumat, tak peduli hujan badai, tetap niat salat berjamaah ke masjid.
“Pak Cek, dingin sangatlah di luar, dengar kan Pak Cek, anginnya, wuih menusuk tulang, salat zuhur saja kita ke masjid ya.” Di tengah rasa kantuk yang mendera, masih sempat-sempatnya aku merayu Pak Cek. Tapi lelaki temperamental itu sama sekali tak terbujuk.
“Kalau tsunami datang lagi di subuh ini, apa matamu masih ngantuk, apa kau peduli dengan dinginnya angin”.
Aku pun bergegas ke kamar mandi. Bila masih bertahan di situ, tentu ceramahnya akan semakin panjang. Sampai-sampai riwayat para nabi pun dikisahkannya. Ternyata api tak boleh disulut, genderang tak perlu ditabuh.
Meski aku sudah menyerah dan ikut segala titahnya, tetap saja segala ajaran agama itu disampaikannya padaku. Demi menyelamatkan iman keponakannya. Mungkin begitulah pikirnya.
“Di matamu itu bergelantungan setan-setan, itu rutinitas mereka tiap subuh. Makanya kau ngantuk, kau tak sadar kalau kau sudah diperdaya,” ceramah Pak Cek dalam perjalanan ke masjid.
Untunglah sampai di masjid kepala keamanan menyelamatkanku. Kini giliran ketua keamanan yang harus mendengar kultum Pak Cek di subuh yang dingin itu.
“Kau benar-benar tak beres mengurus anak buahmu. Kemarin itu anak kecil yang kau tangkap, sekarang malah orang sakit jiwa pula yang kau sidangkan. Sama gilanya kau dengannya,” cermah Pak Cek pada ketua keamanan.
“Aku tak gila Pak Cek, aku hanya mengikuti saranmu. Bukankah hukum itu harusnya buta, hingga penegak hukum tak pandang bulu dalam menangkap orang, siapa yang salah libas saja.” Ketua keamanan membela diri.
“Maksudku kau harus menghukum siapa saja yang bersalah secara adil, tak boleh ada yang spesial. Walaupun itu petinggi atau orang kaya di gampong ini. Seperti koruptor yang mencuri uang rakyat sampai triliunan,” Pak Cek menarik nafas, mengumpulkan oksigen lewat hidungnya.
Keadaan itu tak disia-siakan ketua keamanan untuk menyela Pak Cek. Tapi baru dia hendak buka mulut, Pak Cek sudah menyambar.
“Kalau koruptor, proses hukumannya lamban sekali. Sudah ketahuan mencuri, masih saja dibiarkan berkeliaran. Tapi giliran yang jiwanya tak beres, belum apa-apa sudah diadili. Yang dicuri pun tak berbobot, pisang,”
Begitulah Pak Cek kalau sudah bicara. Orang lain tak punya kesempatan untuk menyela. Ketua keamanan gregetan dibuatnya, sedari tadi kulihat tak tetap duduknya, macam orang ambeien saja. Pasti banyak yang ingin ia klarifikasi.
Dan giliran kesempatan itu datang. Baru mau buka mulut dan ambil ancang-ancang, terdengar suara dari arah depan.
“Saf lurus, rapat dan rapi.” begitu instruksi pak imam, tanda salat akan segera dimulai. Hanguslah kesempatan itu, tak ada celah untuk membela diri.[]