SUIB Surya Kabisah rupanya sudah bertukar profesi jadi cerpenis. Tapi tabiatnya masih sama, masih suka mengurusi urusan orang lain.
Kali ini tak tanggung-tanggung, entah ingin tenar atau jual tampang, ia secara blak-blakan membuat cerpen satir untuk ketua gampong.
Amanruf yang memang sering dibuat gondok oleh Suib tak menunggu tempo, ia langsung mengompori ketua gampong perihal cerpen yang menyodok dirinya. Ia berharap kepala Suib dipenggal, atau paling kurang ia kena repet ketua gampong selama sepekan, puaslah hati Amanruf.
“Lihatlah ini ketua, Suib menulis tentangmu.”
Ia menunjukkan Koran Hantom Salah pada ketua gampong. Ketua gampong melihat sejenak sambil mengernyitkan dahi.
“Ini hanya sebuah cerpen, apa hubungannya denganku.”
“Bacalah dulu, ia benar-benar telah memfitnahmu, aku tahu kau pemimpin yang bijaksana, tak mungkin kau seperti yang ia tuliskan ini.”
“O..ya, coba kulihat.” Ketua gampong meneliti, lalu tersenyum, “Amanruf, kau ini benar-benar tak teliti, baca yang benar, ia menulis tentang pemimpinnya diAncen, bukan Aceh.” Ketua gampong menertawakan kebodohan Amanruf.
“Ini hanya akal-akalannya saja, lalu bagaimana dengan ini?” tunjuk Amanruf pada sebuah kata di salah satu halaman koran itu.Ketua gampong kembali meneliti dan lagi-lagi tersenyum. “Amanruf-Amanruf, kau ini sudah rabun atau tak pandai lagi membaca, jelas-jelas ini tulisannya Candonesia bukan Indonesia, lagi pula Candonesia itu jauh dari kita, letaknya di Benua Eropa.”
“Tapi ketua, belum ada negara baru di Eropa yang bernama Candonesia.”
“Mungkin sudah ada, cuma kita saja yang belum tahu.”
Putus asa Amanruf mengompori ketua gampong, ketua gampong adem ayem saja, sama sekali tak terpancing, tepatnya tak menyadari maksud Suib di balik kalimat-kalimatnya.
“Ketua, bacalah dulu sampai habis, banyak hal yang berhubungan denganmu dalam cerpen ini, anak kecil pun tahu kalau pemimpin yang dimaksud dalam cerpen ini adalah dirimu, plat merah, ya plat merah, bukankah bendera partaimu didominasi warna merah? Juga masalah menyetir mobil sendiri, soal konflik di negeri ini, juga tentang tsunami dan perdamaian, semua ini ada di negeri kita, dan kaulah pemimpin negeri ini sekarang.”
“Ah, Amanruf, kau ini terlalu banyak berimajinasi, kau pikir, hanya bendera partaiku saja yang berwarna merah.” Ketua gampong menanggapi sambil geleng-geleng kepala.
“Gam, apakah ada batasan dalam cerpen, sehingga orang tak boleh menulis apa-apa yang serupa dengan orang lain?” tanya ketua gampong padaku.
“Tentu saja tidak, ketua, mungkin kebetulan saja ketua gampong di Ancen itu juga suka menyetir mobil sendiri, sama seperti ketua,” kataku menengahi, meski aku juga sepakat dengan Amanruf kalau cerpen Suib itu untuk menyindir ketua gampong, bukan menyindir, mungkin lebih tepatnya membuat pernyataan entah itu benar atau tidak.
“Kau dengar sendiri kan? Si Gam telah banyak belajar sastra daripada kamu, kau harus tanya padanya bagaimana seharusnya kita memperlakukan sebuah fiksi.” Dipuji ketua gampong, aku senyum-senyum saja.
Amanruf melirikku dengan perasaan dongkol. “Ketua, sebenarnya berat untukku mengatakan ini, bacalah ini, betapa kurang ajarnya si Suib itu, ia menuliskan kata sayang untuk istrimu. Ah, sungguh tak bermoral kata-kata itu,” ujar Amanruf dengan wajah memelas seperti menyesali sesuatu.
“Ketua, ia memanggil sayang untuk istrimu,” ulang Amanruf dengan emosi dan penuh tekanan. Seakan-akan baru mengetahui bahwa si Lela penari seudati pujaan hatinya digaet pria lain. Ketua gampong pun menatap Amanruf dengan ekspresi yang susah kutebak. Ia menatap Amanruf lama.
Wajah Amanruf tegang dan matanya bulat tak berkedip seakan menunggu respon yang luar biasa dari ketua gampong. Ketua gampong menarik nafas panjang dan menatap langit lalu berujar dengan emosi yang naik turun.
“Aku tak tahu ada berapa, yang jelas ada banyak nama yang sama dengan nama istriku di dunia ini.”[]