WH

SUDAH lama aku tak mewawancarai orang. Kira-kira sekitar lima tahun lah. Manusia terakhir yang aku wawancarai adalah sang rektor yang baru saja mengirimkan bawahannya ke luar negeri dengan dalih untuk menjadikan kampusnya sebagai perguruan tinggi nomor satu di Asia Tenggara.

Kalau sekedar tanya-tanya, aku sering, tapi sepertinya itu tak layak disebut wawancara. Menurut yang biasa kulihat dan pernah kupraktekkan, pewawancara selalu punya catatan di tangannya atau lebih canggih lagi punya recorder, tentu saja karena ia bisa kerja lebih santai.

Kali ini aku ingin wawancara serius. Sebelumnya, untuk mengembalikan mental, aku akan jadikan istriku kelinci percobaan. Dia akan menjadi narasumberku kali ini.Sejenak kuintip istriku di dalam kamar layaknya wartawan gosip yang sedang memburu artis yang sedang naik daun. Ia sedang bercanda riang dengan anak kami yang baru berumur dua bulan lebih sedikit itu. Kuraih kotak bedak bayiku. Anggap saja itu tape recorder. Wawancara pun dimulai.

“Pendapat anda mengenai kasus pelecehan seksual oleh oknum WH terhadap tahanan perempuan di Langsa beberapa waktu lalu?”

“No comment.”

“Ayo lah, sedikit saja Bu.” Aku dengan sok formal terus mendesaknya, tentu dengan trik-trik menjebak dan dibumbui sedikit rayuan, seperti seorang wartawan yang sedang merayu sekretaris pejabat yang terlibat korupsi miliaran rupiah.

Ia pun menarik nafas panjang dan menatapku malas. Aku tahu ia merasa terganggu, mungkin dia salah satu model orang yang tak suka masuk Koran.

“Peuturôt nafsu malèë hanalé, peuturôt haté ka hilang nyawa, peuturôt angén kaputöh talo, peuturôt putroë kamalèë raja.”

“Bukan begitu sayang, aku bukan peuturot nafsu, aku hanya ingin belajar mewawancara lagi,” kataku membela diri.

“Bukan, bukan ayah, tapi oknum WH itu.”

“O…,” jawabku kikuk. Belum apa-apa aku sudah tak nyambung.

“Bagaimana menurut anda soal yang tadi itu,” kataku berlagak formal menyembunyikan kekikukanku.

“Soal yang mana?” tanyanya cuek.

“Soal WH itu,” kataku ketus.

“O, oknum WH yang melakukan pelecehan seksual itu? Biasa saja lagi, tak ada yang spesial, siapa pun dia kalau sudah merenggut kehormatan orang lain ya harus dihukum.”

“Apakah menurut anda, seorang penegak hukum syariah pantas mengangkangi hukum syariah itu sendiri?”

“Tentu saja tak pantas, seperti orang botak jual obat penumbuh rambut, memalukan sangat,” katanya geleng-geleng kepala. Anakku yang belum tahu-menahu itu pun juga ikut-ikutan geleng-geleng kepala.

“A.. Greng…,” celotehnya riang. Sungguh menggemaskan sekali.

“Tapi, lebih dari itu, kupikir mereka (WH) sudah cukup berat menahan cobaan selama ini, bayangkan…,” kata istriku serius, tentu saja dengan mimik wajah yang sedikit sangar. Aku pun coba membayangkan, tapi tak tahu harus membayangkan apa.

“Mereka selalu dihadapkan pada kasus mesum, perzinahan, dan segala sesuatu yang membangkitkan gairah, sedikit kurang pasti mereka merasa penasaran atau iri dan ingin mencobanya juga, ha.. ha.. ha..,” candanya.

Aku pun memasang muka masam, artinya kalau dia tak serius jadi kelinci percobaan, nanti malam aku pulang telat.

“Tapi menurut saya, ambil saja hikmahnya dari peristiwa itu, dan hukum pelaku seberat-beratnya, setidaknya jadi pelajaran bagi kita semua. Jangan lupa anda tulis pesan saya kepada Pemerintah Aceh untuk mengevaluasi syariat Islam, termasuk kondisi WH setelah digabungkan dengan Satpol-PP, nama baiknya di ambang kehancuran.” Narasumber ecek-ecekku kembali serius.

Menurut istriku, dengan kondisi WH sekarang, tidak mungkin mereka bisa menjalankan tugas dengan baik. Mungkin, saat hendak menyeruput secangkir kopi di sebuah warung terdekat saja, mereka tak berani menatap wajah orang-orang yang nongkrong di sana. Atau paling tidak mereka jadi musuh bersama para pemilik kios jalanan.

Ditambah lagi dengan rekrutmen personilnya yang dinilai tidak profesional. Kalau yang itu bukan penilaian istriku, tapi temanku yang bilang kepadaku setelah dia mendengar dari temannya. Temannya itu membaca pada status temannya yang lain di facebook.

Mengenai permintaan beberapa kalangan di Aceh untuk membubarkan WH, istriku tidak setuju. Dia merasa WH masih dibutuhkan di Aceh. “Kalau mau membunuh satu tikus, jangan krông padè-nya yang dibakar. Seperti kata pepatah, “Uleuè beu maté, ranténg bèk patah”.

Kalau permintaan membubarkan WH sama jua seperti, “U bèk beukah, kuah beu leumak, meulintèë bek diwoë, cucö beuna.” Elemen sipil meminta syariat Iislam harus kaffah, sementara dukungannya minim, eh sekarang malah polisi syariah diminta bubarkan. “Mental seperti itu tidak cocok lagi wak,” serunya.

“Seperti kita ketahui, di Kabupaten Bireuen, WH bukan hanya digabungkan dengan Satpol-PP, tapi juga ditambah dengan satuan pemadam kebakaran. Tanggapan Anda?”

“Itulah yang saya heran, kenapa tak ada yang sepintar Bupati Bireuen?” Tanggapnya yang sulit kutebak antara serius atau bercanda.

“Misalnya, WH mendapat laporan sepasang nonmuhrim sedang ‘simsalabim’ dalam sebuah rumah di sebuah gampong, ketiga elemen tersebut kan pasti bergerak bersama-sama. Ketika pasangan nonmuhrim itu bersembunyi dan tak mau keluar, tugas Satpol PP yang mendobrak pintu atau bila tak digubris, dindingnya yang dijebol.”

Lalu, lanjut istriku, pemadam kebakaran dengan tanki airnya yang besar dan pipanya yang panjang menggantikan tugas warga menyiram pelaku mesum. Itulah gunanya pemadam kebakaran bergabung ke sana. “Harusnya dinas PU juga digabungkan ke sana agar gampong mereka bersih dari tempat perzinahan, sekalian lapak nonmuhrim itu dibuldoser dan dibuang ke sungai, ha….ha…ha….,” ujarnya semangat sambil terpingkal.

“Lalu apa tugas WH Bu?”

“Tugas WH seperti biasa, menceramahi pelaku yang sudah menggigil itu. Mereka akan mengatakan kira-kira begini, ‘kita tak boleh berzina, itu hukumnya haram’. Tapi WH itu sendiri tak semuanya mengamalkannya, ah, aku malas bergosip tentang WH, suka-suka mereka sajalah, mereka menyidang para pe-khalwat. Kalau tak ada yang berani menyidang salah satu anggota mereka yang berlaku serupa, biar Allah saja yang menyidangnya.”

“Satu lagi bu.”

“Ayah…, ambil celana dan tisu basah di keranjang kain. Sekalian bedongnya ya!”

Wawancara yang begitu formal itu pun dibubarkan oleh pipis anakku.

“A… Greng…” celotehnya lagi.[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.