Enaknya hidup di Aceh yang cool (Inggris: sejuk/dingin). Penduduk prianya cool—tidak semua. Pemerintah cool. “Politik politik kuwl (bacaan cool). Muncul konfik pun konflik kuwl. Akhe buet, apui-apui pih kuwlllll,” komentar Je usai membaca berita Pembahasan Pemilukada Aceh di Kemendagri.
Dan, sebuah kesepakatan, pembahasan masalah Pemilukada dilakukan ‘cooling down’ selama bulan suci Ramadhan. “Ya, mendinginkan situasi,” sahut Je begitu ditanya Si Him apa maksud istilah itu. “Kenapa orang-orang bermasalah itu tak ke daerah kutub saja, ke Antartika. Di sana es semua, dijamin dingin,” balasnya. “O hai Himmm.. Him,” Je geleng-geleng kepala.
‘Pertemuan Jakarta’ itu dilakukan untuk menyelesaikan konflik regulasi (peraturan) qanun Pemilukada Aceh. Pertemuan tertutup itu dihadiri para pihak seperti Gubernur Aceh, DPRA, KIP, dan Bawaslu. Oleh beberapa pihak, termasuk wagub Aceh, pertemuan tersebut berkesan mempermalukan Aceh. Katanya, pemerintahan mandiri, self-government, daerah otonomi khusus, masa masalah Pemilukada saja harus diselesaikan di Jakarta.
“Aku setuju kalau pertemuan itu mempermalukan Aceh, Him. Bayangkan, kita punya rumah sendiri. Lalu timbul masalah dalam rumah kita. Kemudian, karena menganggap masalah itu sulit, kita menyelesaikannya di rumah orang lain, padahal masih ada orang yang bisa selesaikannya di rumah sendiri. Ini tidak, kita kuwlkan di kulkas tetangga. Kan bodoh!” Yaya, angguk Him.
“Him, Him, kakalon foto peserta pertemuan di koran nyoe lee. Mereka tak kelihatan kuwl, padahal mereka sedang cooling down, haha,” kata Je. Yaya, Him mengangguk lagi. “Lihatlah, mereka tampak lelah sekali. Selain karena sedang puasa (jika mereka puasa), mungkin juga pemerintah Aceh tergolong orang-orang yang lamban dalam menyelesaikan suatu masalah,” kata Je, lagi.
“Hai, coba kalau kau pemerintah Aceh,” bantah seorang pria. “O, rupanya na yang pro chit… Him, ha ha ha. Kop bangai,” bisik Je pada telinga Si Him. “Sang timses jih.”[]