Dongeng Aceh

Selamat pagi kawan. Di saat dirimu menyeruput kopi pagi, tentunya dirimu juga membaca situasi Aceh saat ini. Apa kabarnya kawan? Bagaimana negeri kita hari ini? Carut marut atau berjayakah sesudah dihumbalang tsunami tempo hari?

Ah…aku tak ingin menyentil telinga para politisi hari ini. Karena aku sedang lelah. Aku sedang puasa mengkritisi kebijakan penguasa yang terkesan berjalan di tempat saat menjalankan roda pemerintahan itu. Aku juga tak ingin terlibat dalam kompetisi penjilat menjilat pejabat daerah yang kian tambun dengan harta tak diketahui asalnya itu.

Diriku juga tak ingin tergilas dalam perang menuju perebutan panggung kekuasan, dua tahun kelak yang sudah dimulai dari sekarang. Dimulai dengan menisbahkan dirinya sebagai yang terbaik dalam mengelola negeri tsunami ini. Perang cacian yang menjatuhkan lawan dalam media-media yang anda-anda baca, Tuan. Dan perang yang ingin memenangkan hati para ulama dan umara sejak dari sekarang.

Aku hanya ingin membaca dongeng negeri kita hari ini. Dongeng Aceh, namanya. Itupun kalau anda tertarik dengan dongeng ini. Aku tak mengharuskan anda membaca. Mewajibkan pun tidak jika tulisan pengantar sarapan ini menarik untuk anda lumat bersama sepotong roti atau timphan asoe kaya.

Kita selaku generasi Aceh mungkin sudah mendengar dari indatu, peukara koh bak trieng jameun Belanda. Sekali lagi aku ingin mengisahkan itu tuan. Mungkin, istri-istri anda mulai lupa akan dongeng ini saat menina bobokan anak anda dalam ayunan. Maklum, saat ini kita lebih memilih memanjakan anak dengan tayangan Upin dan Ipin atau Tom dan Jerry, saat tubuh terasa lelah dengan pekerjaan harian kita. Sehingga, riwayat indatu sering terlupakan.

Anda pasti tahu kisah gaji guru Rp23,2 juta yang disikat oleh komplotan bersenjata api, kemarin. Komplotan perampok itu, merampas gaji cekgu di Pidie menggunakan senjata api jenis AK dan M-16. Tindakan kriminal ini, patut diwaspadai tuan seiring berjalannya perdamaian di nanggroe Tanoh Rincong ini. Bukan hal sepele yang perlu diperhatikan jika senpi masih berkeliaran di wilayah kita.

Seharusnya pemimpin Aceh paham betul akan hal itu. Mungkin saja ini akibat tidak adanya keselarasan dalam pembagian hak antara yang dipimpin dengan pemimpin saat ini, membuat lapisan bawah mencari jalan keluar untuk mengisi perut anak dan istrinya.

Jangan menganggap sepele akan hal ini tuan. Karena hikayat indatu peukara koh bak trieng jameun Belanda masih berlaku sampai saat ini di Aceh. Ah…lagi-lagi aku menyambar dunia politik dalam dongeng Aceh ini. Tapi, tak apalah. Ini kutuliskan demi kemashlahatan ummat. Agar para umara tak jua lupa akan hak dan kewajibannya dalam menuntun negeri.

Oh ya Tuan, ada lagi peukara yang hendak kusampaikan dalam dongeng Aceh kali ini. Tak lain peukara itu adalah praktik korupsi yang sedang marak terjadi di tempat kita. Bagaimana klasifikasi pencuri berdasi kali ini di nanggroe kita?

Jadi teringat dengan kisah pencuri ayam di belakang rumahku dulu. Ia dibal-bal oleh massa sampai tak ku kenal lagi wajahnya. Padahal, tersangka pencuri itu tepaksa mencuri karena perut anak dan istrinya sudah mulai terasa perih karena tak ada lagi beras di rumahnya.

Namun, beda sekali tuan dengan kisah pencuri berdasi kali ini. Meski rumah berlantai keramik, atap berhiaskan genteng dan menjalani hari dengan bahagia bersama anak istri. Sayangnya, aku hendak menyesali hukum kita tuan. Pencuri berdasi ini sama sekali tak tersentuh. Jangankan dipukuli, mereka bak raja di balik jeruji besi saat kasusnya terungkap ke polisi.

Aneh memang. Aku saja merasa bingung dengan hukum kita. Bagaimana dengan tuan-tuan? Apakah dongeng Aceh hari ini menarik bagi tuan-tuan. Memang, tak ada inti sari dari cerita ini. Namun, melalui dongeng ini aku hendak mengatakan, hati-hati tuan.

Bek peukara koh bak trieng jameun Belanda terulang lagi di jaman damai ini. Jangan pula pencuri berdasi dibiarkan meraja lela di nanggroe kita ini. Mari sama-sama kita kawal keamanan negeri agar damai tercipta dengan tenangnya. Agar sarapan pagi dengan segelas kopi plus sepiring roti atau timphan asoe kaya kita tak lagi diwarnai dengan tendangan ‘pinalti’ seperti tempo hari.[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.