PILKADA sudah di ambang pintu. Info sementara dari KIP Aceh, 10 Oktober 2011 menjadi hari pertimbangan rakyat dalam mencontreng gambar berwajah para kandidat. Seperti biasa, satu orang diperkenankan sekali contreng di bilik rahasia, lalu ditandai dengan tinta. Siapa yang dapat coretan paling banyak di muka, dialah yang berhak menjadi pemimpin alias kepala bagian pelayan rakyat. Takut melayan, jangan mau dicontreng, jangan juga pasang gambar.
Di beberapa daerah, aroma politik minta contreng sudah membahana, kecuali di Aceh Jaya. Caranya macam-macam, sesuai dengan pikiran pemilik gambar atau sesuai pembisiknya. Salah satunya dengan bungkusan momentum hari besar Islam seperti maulid. Kue politik telah dijaja via iklan bentang di langit jalan raya, tulisannya kira-kira; dengan semangat kelahiran nabi Muhammad saw, mari kita bersatu membangun negeri, menuju kesejahteraan sosial sebagaimana yang ditauladankan nabi besar Muhammad saw. Tentu spanduk itu dibarengi gambar peminat kursi satu atau kursi dua beserta keluarga di daerah tertentu.
Melihat realita ini, mengingatkan kita tentang perwujudan kesejahteraan yang dibalut dengan kue awet politik penuh formalinisme, sungguh tak etis. Karena bila tak bisa dijamin awet, kenapa sudah mulai pasang-pasangan spanduk. Bicara awet, pasti terhubungkan dengan formalin. Pertanyaannya adakah aktivitas politik dini itu mengandung formalin?
Ya, formalin zat berbahaya itu. Kandungan formalin memang susah dilihat secara kasat mata, namun konsumen setidaknya bisa mengetahui dengan cara mengenali ciri-ciri makanan yang mengandung formalin. Begitu juga politik yang berformalin, susah. Baru bisa dideteksi secara kualitatif maupun kuantitatif secara akurat hanya dapat dilakukan di laboratorium dengan menggunakan pereaksi. Nah, untuk politik berformalin rupanya jauh lebih susah dideteksikan, berhubung laboratorium politik juga dikuasai oleh pelaku politik, ditambah lagi tidak ada kemampuan memereaksikan pada tingkatan masyarakat menengah ke bawah.
Karenanya, sebelum kita memilih, sebelum kita coret wajah kandidat, pikirkan dengan matang, nyatakan apakah kandidat yang akan minta dipilih itu berformalin atau bebas zat perusak.
Bahaya formalin politik sama saja dengan bahaya kandungan formalin di makanan. Masyarakat akan mengalami kanker alias kantong kering, kerusakan jaringan, sakit hati, gangguan saraf (gila), rusak lensa mata, dan melemah daya ingat.
Harapannya, sebagai rakyat yang mempunyai satu suara, politisi berformalin harus dilaboratoriumkan atau digudangkan oleh partai. Jika pun muncul bak hantu, maka rakyat mesti jeli dengan jajan yang mereka tawarkan. Ini mesti dilakukan bukan atas nama benci, namun justru karena kecintaan kita terhadap nilai-nilai luhur demokrasi, sehingga perwujudan pembangun tidak diformalinkan yang pada gilirannya rakyat menjadi penanggung efek formalinisasi politik.[]
—
Maimun Panga