Helm

Orang-orang di negeri yang jauh merekomendasikan kami untuk memakai helm setiap kali menunggang kuda. Tapi, Tuan, inilah kami dengan tradisi yang kami cintai; dan sistem pengaman standar bagi kami hanyalah keuletan menunggang; yang kami warisi dan telah terbukti dari generasi ke generasi. Kami aman dengan cara kami. Kami bahagia dengan tradisi warisan ini.

Nah, lihatlah itu, Tuan. Lihat joki muda bermata tajam berbaju pelepah pohon bertelanjang kaki itu, memacu kudanya yang berwarna coklat pekat bagai penunggang yang sedang memburu Iblis. Di bawah sorak-sorai penonton yang memadati balkon stadion, dia bagaikan pahlawan, bukan?

Oya, mari saya katakan. Para penunggang kuda terbaik dari tiga negeri serumpun sedang berkumpul di lapangan utama kerajaan dalam rangka perlombaan merebut tropi juara tahun ini. Dan ketika pacuan sudah dimulai seperti ini, lihatlah itu, joki bermata setajam siwah berbaju pelepah pohon bertelanjang kaki memacu kudanya yang berwarna coklat pekat bagai penunggang yang sedang bertaruh untuk meraih bulu-bulu anak panah yang melesat dari busur para pemburu liar yang jahat.

104 ekor kuda yang terdiri 31 ekor dari Negeri Paloh, 31 ekor dari Negeri Beurandeh dan selebihnya dari Negeri Trieng akan berlaga selama tujuh hari memperebutkan piala bergilir Raja dengan total hadiah 112 juta-rupee yang disponsori oleh Badan Putoe Busoe negeri.

Perlombaan dibagi dalam delapan katagori sesuai dengan ketinggian kuda dengan persyaratan, kuda yang boleh ikut minimal berusia dua tahun dengan kapasitas perlombaan hanya satu kali putaran, sementara kuda tua berlomba dalam dua kali putaran.

Pacuan kuda tradisional ini diadakan setahun sekali yaitu tiap memperingati Hari Ulang Tahun Kerajaan. Disebabkan HUT yang ke 108 ini jatuh pada hari bulan Ramadhan, maka panitia perlombaan memutuskan untuk menggeser perlombaan tersebut pada hari di luar bulan puasa dan hari itu jatuh pada Ahad kemarin di mana langit pusat negara pagi itu cerah di atas junjungan ratusan kepala para pengunjung lapangan.

Tradisi pacuan kuda ulang-tahunan yang terus eksis tiap tahun di tiga negeri pergunungan ini memang unik dan sarat petualangan yang mendebarkan malah nyaris berbahaya untuk ukuran sebuah perlombaan resmi.

Soalnya para joki remaja tanggung dan malah ada yang masih berusia di bawah remaja itu, dalam perlombaan tersebut mereka memacu kuda-kuda tunggangannya dengan keliaran yang total sementara kepala tanpa dilindungi helm pelidung seperti di negeri-negeri yang jauh dan di tubuh kuda tanpa disangkuti pelana malah beberapa joki terlihat hanya bertelanjang kaki tanpa memakai sepatu kulit secuil pun.

Memang kata Tuan, dibandingkan yang lain-lain, helm itu terlebih penting untuk melindungi wilayah paling geulanceeng dalam sistem anatomi dari getaran berfrekwensi tinggi yang terkadang lolos dari prediksi.

Tetapi, Tuan, inilah kami dengan tradisi yang kami cintai; dan sistem pengaman standar bagi kami hanyalah keuletan menunggang yang kami warisi dan telah terbukti dari generasi ke generasi, kami aman dengan cara kami. Kami bahagia dengan tradisi warisan ini.■

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.