SUIB Surya Kabisah, meski tak lagi berprofesi jadi pengamat. Jiwa analisisnya tak lekang dimakan kegagalan. Dia rajin sekali mengamati apapun. Tapi kali ini hanya sebatas yang kecil-kecil saja. Katanya akhir-akhir ini ia jarang baca koran, jadi kurang intelek.
Ia sibuk mengamati Amanruf. Mulai menganalisis rambut Amanruf yang mencerminkan tabiatnya sampai jas murahan Amanruf.
“Lihat jasmu, baru setengah tahun sudah supak, harusnya kau beli jas berkualitas tinggi. Memang harganya lebih mahal, tapi yang namanya barang mahal itu pasti tahan lama, tidak mudah rusak, serat kainnya tetap halus mesti sudah dicuci berulang kali.” Kata Suib sok pintar. Amanruf mulai krasuk-krasuk menyeimbangkan dirinya. Mungkin ia merasa direndahkan.
“Ah, kupikir tidak juga, banyak juga pakaian mahal tapi rentan rusak. Tak boleh disikat kuat-kuatlah, harus disetrika dengan temperature rendahlah, tidak boleh dijemur diterik matahari, sekalian saja tak usah dipakai dan dibungkus plasti lalu disimpan saja di dalam lemari.” Kata Amanruf membela kemiskinan.“Tapi kenyataannya banyak pakaian mahal jauh lebih tahan lama, kalau tidak orang tidak akan mau mengeluarkan uang sebanyak itu.”
Begitulah Suib selalu saja asal duduk bersama di warung kopi Apa Lah, tak henti-hentinya beranalisis. Tapi kali ini ia datang tergesa-gesa menghampiri Amanruf bukan untuk beranalisis melainkan membawa kabar terbaru tentang dirinya. Ia menenteng sebuah tas hitam dan langsung membuka isinya di hadapan kami.
“Aku baru beli laptop.” Katanya antusias. Amanruf yang jarang-jarang berhadapan dengan laptop sekeren itu langsung cabak. Ia mencoba menyentuh laptop itu.
“Ho… hati-hati. Nanti lecet.” Kata Suib ketika Amanruf ingin membukanya. Tugas itu pun langsung diambil alih oleh suib. Sebagai pemilik laptop, ia tahu benar bagaimana memperlakukan laptop itu. Ia pun memamerkan pada kami kemampuan laptopnya yang layarnya bisa diputar-putar itu.
Amanruf lagi-lagi tak sabar secepat kilat ia menyentuh keyboartnya.
“Jangan dihidupkan, nanti rusak, ini laptop mahal, harganya delapan juta.” Teriaknya panik. Tak tahu harus melakukan apa ia coba-coba menyentuh layar entah untuk apa. Lagi-lagi suib panik.
“Aduh, jangan pegang-pegang layarnya.” Kata suib lagi. ketika amanruf ingin menyentuh ini itu pada laptopnya ia selalu berusaha menangkap tangan amanruf sampai ia tak sanggup pikir lagi bagaimana menyelamatkan laptop baru itu dari tangan amanruf. Akhirnya ia menutup kembali laptopnya dan menyimpan kembali ke dalam tas. Lalu kabur menjauh dari kami.
Begitulah suib, baru kemarin dia bilang barang mahal tahan banting, hari ini lain lagi faktanya.
“Kupikir ia memang benar-benar tak pantas jadi pengamat.” Kata Amanruf kesal.[]