Honda adalah nama seorang penemu mesin sepeda motor dari Jepang. Lalu nama penemu ditabalkan pada temuannya. Keluarlah sepeda motor bernama Honda. Kemudian dijual sampai ke Indonesia termasuk ke Aceh.
Maka dalam perkembangan zaman, kata “Honda” itu bermakna sepeda motor bagi orang Aceh. Sama halnya orang Medan yang menyebutkan kata “Kereta” untuk sepeda motor. “Dalam hal ini, sebagian orang Aceh juga seperti orang Medan,” Je mengawali diskusi di kantin.
Namun, hari ini Je lebih membahas fenomena masyarakat Aceh yang “gila” akan honda baru. Semiskin apapun orang Aceh hari ini, setidaknya ada satu honda baru di depan/bawah rumah. Selain itu, dampak dari dibeli atau tidaknya honda baru sangat besar. “Seperti Si Bram yang tak mau sekolah kalau tak punya honda baru. Malu sama kawan, entah sama pacarnya,” umpat Isan. Kebetulan tak ada Ibrahim di kantin, sehingga tak lahir bentrokan mulut.
Ya, Ibrahim alias Bram alias Si Him sampai membuat orangtuanya menangis gara-gara honda baru. Semasa kelas tiga sma, banyak kawan-kawannya yang sudah punya honda baru, sementara ia masih naik labi-labi (angkutan umum) atau numpang juga nebeng (istilah gaul) sama kawannya. Karena itu ia cemburu. Juga bosan terus naik labi-labi yang sering membuatnya telat masuk sekolah lalu dihukum pihak sekolah. Ia juga sering diturunkan di tengah jalan ketika numpang sama kawan. “Itu terjadi ketika kawan Si Him diminta jemput sama pacarnya dari sekolah yang berbeda di kota Sigli,” kisah Je. Dengan terpaksa Si Him diturunkan di bawah terik mentari.
Lalu Si Him mendesak orangtuanya belikan honda baru. Bukan tak mau, tapi orangtuanya tak sanggup. Jangankan honda baru, beli ikan saja tak cukup. Ayahnya cuma seorang pekerja serabutan. Sementara emaknya ibu rumah tangga, atau, ketika sangat krisis moneneter akan berupah mencuci pakaian tetangga yang lebih punya. Namun Ari seperti tak paham keadaan orangtuanya. Ia terus memaksa. “Meunyo han neubloe honda lon poh droe (Kalau tak beli sepeda motor saya bunuh diri),” ucapnya pada emak.
Emaknya mengucurkan airmata. Dan lari keluar rumah temui sang suami tercinta yang sedang bekerja di kebun. Setelah berdiskusi empat mata empat telinga empat rongga hidung empat kaki empat tangan dan dua mulut, “singoh tajak bak (besok kita ke) Capella neuk (nak),” ujar sang ayah pada Si Him malamnya. Wah, Ibrahim senang sekali saat itu. Melompat-lompat.
Namun dia tak tahu kalau orangtuanya harus menggadaikan sawah dan berhutang pada orang lain. Lalu banting tulang mencicilnya. Makin mengiris hati orangtuanya ketika kemudian hari, Si Him malah kebut-kebutan ikut balapan liar di sirkuit palsu Gle Gapui. Dan makin merana batin orangtuanya ketika kedapatan Si Him me-me inong (bawa-bawa cewek) dengan honda barunya; bermesraan. Sehingga, setidaknya orangtua Si Him ribut-ributan: si ayah memarahi emak karena tak mau dengar alasannya bahwa kalau Si Him punya honda baru ia akan me-me inong dan balap-balapan, sementara emaknya menyanyangi Si Him yang aneuk agam saboh (putra tunggal) masa tak ada honda.
“Ehmmm,” dehem Bram tiba-tiba, “keu soe lom nyan (untuk siapa lagi itu)?” tanyanya yang baru tampak ke kampus. “Hana, teungoh pakat tandeng futsal,” Je berkelit. O. Ya sudah. “Kiban na lagot honda uronyoe (bagaimana ada laku motor hari ini)?” tanya Isan. “O, hana (tidak),” sahutnya. Ya, sejak kuliah, Ibrahim sudah berbisnis sebagai agen sepeda motor dan membuatnya kedua orangtuanya berbahagia kini.[]
gasien2 ureung aceh, dak peudeh meuceueh na lah pat harap, troeuh keuh si him bak capela.