“Bek that kamaen-maen bak jurong, dicok lee pancuri ulee!” Secara bebas artinya, “Jangan suka-suka bermain jauh dari rumah nanti diculik oleh tukang potong leher.”
Hingga era akhir tujuh-puluhan, kalimat-kalimat seumpama itu, di Aceh, terutama di kampung-kampung pedalaman cukup sering terdengar dengan penekanan intonasi sarat kegelisahan dari mulut ibu-ibu yang memiliki anak kecil. Dan si anak mematuhinya dengan kepatuhan yang penuh kerisauan dan ketakutan.
Kegelisahan orangtua terhadap kemungkinan kehilangan anak kecilnya disabet tukang potong leher, itu selalu berasal dari sas-sus yang beredar di kampung-kampung, bahwa ada pembangunan jembatan, bangunan irigasi atau sumur pada eksplorasi pengeboran minyak di suatu kawasan tertentu yang proses pembangunannya agak terkendala, atau bahkan ada yang sudah selesai dibangun namun rubuh kembali, sehingga disinyalir “penunggu” atau semacam makhluk halus yang mendiami areal atau sekeliling areal pembangunan jembatan, irigasi atau sumur minyak tersebut sengaja meruntuhkan bangunan itu karena ada hajatannya yang belum dipenuhi, yaitu potongan kepala anak-anak.
Padahal yang benar adalah, ketika ada seunit jembatan, bangunan irigasi atau eksplorasi pengeboran sumber energi mineral yang proses pembangunannya terkendala, terutama secara tekhnis, itu artinya di sana sangat dibutuhkan kepala manusia, atau otak orang alias pemikiran brilian dari para figur tekhnisi atau insiyur yang terlibat atau yang akan dilibatkan dalam pembangunan tersebut.
Yakni, brilian di sini diumpamakan sebagaimana briliannya alam pikiran anak-anak yang selalu penasaran terhadap segala hal dalam wujud rasa ingin tahu yang terus-menerus dan bersih dari segala unsur pemikiran kotor seperti egoisme tinggi dalam wujud rasa ingin mengkorup dana-dana yang diperuntukkan untuk pembangunan tersebut sebagaimana bersihnya pikiran anak-anak yang masih polos dari niatan-niatan yang berorientasi ke keuntungan pribadi semata-mata.
Jadi untuk mensukseskan pembangunan-pembangunan infrastruktur berskala besar dan masih tergolong rumit untuk ukuran kemajuan tekhnologi pada era-era akhir 70-an atau awal-awal 80-an, itu memang dibutuhkan kepala/otak brilian dan bersih sebagaimana brilian dan bersihnya otak/kepala anak-anak.
Jadi bukan sebagaimana yang dipelintirkan para tukang ulok atau warga yang merasa diri pandai bicara yang selalu cenderung mendominasi percakapan di tengah setiap perkumpulan anggota masyarakat di beuleukoh tepi desa atau di warung kopi tengah kampung alias individu bajingan bermental provokator yang sok cerdas dan selalu menikmati rasa bangga apabila sanggup menebarkan isu-isu tertentu yang membuat masyarakat seolah-olah segera bertindak hati-hati padahal intinya ketakutan setengah mati.
Nah, kemarin di surat kabar Harian Kita, eh, Harian Aceh, halaman depan, seorang pemerhati sosial-politik nasional, Fakhri Ali mengatakan dan apa yang dikatakannya menjadi judul berita tersebut yang bunyinya, “Aceh harus Dibangun dengan Otak”. Maka seorang warga yang masih berpikir dengan paradigma lama langsung menanggapi judul berita itu meski belum mendalami isi tulisannya.
Kata dia, “Bukankah sepanjang masa konflik tempo hari Aceh telah dibangun dengan ribuan otak? Tapi kok malah phak-luyak? Sekarang kok minta dibangun dengan otak lagi? Memangnya otak orang Aceh harus selalu dikorbankan untuk Iblis penghuni bawah tanah Nanggroe Indatu ini?”
“Tidak!” tegas orang berparadigma klasik itu. “Sekarang mari kubilang, kalau mau sukses membangun Aceh, kumpulkan semua dukun, usir semua Iblis bawah tanah yang terus-terusan meutrop-trop ie babah ingin mengunyah utak orang Aceh!”■