Inggreh-Aceh

Salah satu watak orang Aceh adalah keras, sehingga dalam berbahasa, orang Aceh melahirkan kata-kata yang keras atau kasar jika tak mau disebut vulgar. Kata-kata ‘keras’ ini keluar dari mulut ketika si empunya mulut tersulut emosinya; ketika ia tak sanggup menahan lagi kemarahan atau kekesalannya. Namun dalam perkembangannya, bahasa ‘keras’ ini terdengar lembut bila diucapkan orang Aceh berjiwa lembut. “Yaaa misal diucapkan seorang bencong yang marah,” sebut Je ketika ditanyai kawannya.

Bahasa yang dimaksud Je adalah bahasa teumeunak atau seumilot. Oleh sebagian orang Aceh yang gemar menggunakannya, menamai bahasa itu dengan ‘bahasa Inggreh-Aceh’. Ucapan ringannya: bahasa Inggris versi orang Aceh.

Je mendengar bahasa ini sejak ia kecil. Dan hampir di seluruh wilayah Aceh hari ini, Bahasa Iggreh-Aceh seperti membudaya. Bahkan anak-anak—balita—Aceh bisa mempraktikkannya, yang mungkin sekali ditularkan oleh orangtua, keluarga, dan lingkungannya.

“Sebenarnya saya keberatan menjelaskan bahasa ini. Tapi bertujuan mencerahkan dan memberi pelajaran, maka saya katakan saja, sebagaimana ditunjukkan film-film atau berita-berita bertema kejahatan,” kata Je pada temannya.

Bahasa Inggreh-Aceh hanya bisa digunakan dalam bahasa Aceh. Ketika orang Aceh melampiaskan kemarahan dan kekesalannya, maka akan keluar kata-kata berikiut, misalnya.

Seorang anak akan berseru, “pap maaa!” kepada emaknya. Seseorang akan berkata, “bakbudik!” ketika melihat kejanggalan. Seseorang akan berseru, “aneuk bajeueng, kajak let asee deh leh!” atau “o hai bui” atau “pukee maaa” atau “ramjadah paleh!” ketika kesal terhdap tindakan orang lain.

Bagi yang kenong teunak (sasaran teumeunak) akan merasakan kata-kata itu ibarat batu besar menimpa kepala, mungkin saja lebih dari itu. Namun ketika teumeunak itu diucapkan waria atau bencong, akan terdengar lembut dan pendengar malah tertawa. Kedengarannya persis seperti sebagain orang Aceh ‘kampungan’ yang latah dengan bahasa orang kotaan (baca Bahasa Kota).

Meskipun terdengar vulgar, “kiranya patut mengapresiasikan orang yang telah menciptakan Bahasa Inggreh-Aceh ini,” kata Ari. Kenapa? Ya, kreatif. Hehe. Tapi, walau bagaimanapun, di manapun, dengan siapapun, “kata-kata manis yang jatuh dari bibir lebih manis daripada madu,” kata Je meminjam salah satu kutipan anonim.[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.