KABAR kebakaran itu sampai ke telinga saya sebelum koran memberitakannya. “Kota Fajar kebakaran, Man. Satu deret kedai Lorong Taqwa habis, rata dengan tanah,” ujar kawan saya melalui telepon genggamnya ke telepon genggam saya.
Saya sempat menarik napas sesaat. “Semuanya?” tanya saya. “Semuanya.”
Musibah kebakaran di Aceh, hampir setiap hari kita dengar. Sebelum kebakaran di Kota Fajar, sejumlah kebakaran sempat mewarnai media lokal di Aceh tentang kebakaran di Aceh Utara. Sebut saja salah satunya kebakaran di Ulee Rubek, Kecamatan Senuddon, Aceh Utara beberapa waktu lalu. Kebakaran pada Juni itu, sempat membuat apoh-apah sebayak 105 jiwa penduduk Ulee Rubek. Singkatnya, dalam dua bulan terakhir, musibah kebakaran sempat membuat sebagian warga Aceh panik. Pasalnya, alasannya sama, “Korslet arus listrik.”
Ah, masalah listrik tampaknya memang tak habis-habis di Aceh—mungkin juga di belahan lain di Indonesia. Mulai dari masalah pembayaran sampai arus yang tak kecukupan, selalu menjadi wicara bagi Aceh. Kebijakan pemerintah tentang arus listrik juga patut dipertanyakan. Lihat saja apa kata Wapres Jusuf Kalla. “Wapres jamin tak ada lagi pemadaman listrik di Jawa tahun depan, sedangkan untuk luar Jawa, lain lagi,” demikian berita di harian ini pada halaman ekonomi.
Sudah menjadi rahasia umum pula tentang pencatatan meteran dari PLN, yang teledor. Walhasil, beberapa bulan pertama, masyarakat membayar sedikit, hanya biaya beban. Namun, di bulan berikutnya, tiba-tiba melonjak drastis sampai dua bahkan tiga kali lipat.
“Tiga bulan orang kami tidak mencatat meteran di desan Pulan. Jadi, selama tiga bulan lalu, si Pulan hanya membayar biaya beban,” begitu alasan awak PLN saat melayani pelanggan yang protes karena bayarannya tiba-tiba melonjak. Kasus ini sudah umum menimpa warga Banda Aceh dan beberapa kali sudah diberitakan media lokal, tapi kejadian serupa masih ada. Uniknya, ketika sejumlah lembaga dinilai merugikan masyarakat, orang berduyun-duyun berdemo, tapi ketika PT PLN (persero) yang memainkan masyarakat di wilayahnya, orang-orang hanya bisa mengurut dadat.
Lain halnya dengan arus listrik di Aceh Selatan, tepatnya wilayah Kluet yang mengalami kebakaran. Karena tidak cukup arus, pernah desa-desa di Kluet mendapat arus mendadak rendah dan mendadak tinggi. Sebagian rumah bahkan terpaksa memakai statar pancing untuk lampu neon yang digunakan malam hari.
“Kalau mau menghidupkan lampu neon, kami pakai statar pancing. Colok dulu statar itu ke lobang statar ‘rumah lampu’ untuk pancingan, baru lampunya mau hidup. Ini terjadi menjelang Magrib hingga malam. Arus ga cukup,” kata seorang teman beberapa waktu lalu.
Entahlah karena “kelihaian” PLN yang menaik-turukan arus menyebabkan kebaran atau memang karena kelalaian warga punya ruma. Terhadap ini, Apa Dolah, tidak mau menuduh. Namun, untuk masyarakat Aceh yang selalu mengalami musibah kebakaran rumahnya, mulai kebakaran waktu konflik hingga masa damai sekarang, Apa Dolah hanya dapat berkata, “Allah bri Allah boh. Ujôb teumeu’a riya teukabô, di sinan nyang le ureueng binasa; Bala tasaba, nekmat tasyukô, sinan nyang le ureueng bahgia.”[]