KARENA baru tiba di kota Banda Aceh, Samin meminta teman sekampungnya untuk membawa ia keliling menghirup udara malam perkotaan. Kebetulan temannya melanjutkan kuliah di Unsyiah, tentu tahu benar tempat yang indah untuk menghabiskan malam.
Samin tidak seberuntung kawannya, sebut saja Tailah. Ia tak bisa melanjutkan kuliah karena orang tuanya sudah lebih dulu dijemput ajal. Adiknya dua pasang ditambah emaknya pun sudah sakit-sakitan, Jadi ia harus bertanggungjawab menafkahi keluarganya.
Suasana malam mulai sempurna, lampu-lampu mulai senyum dengan cahayanya, hujan pun turun tak begitu deras tapi cukup membasahkan aspal. Dengan super jhon, Tailah membawa Samin keliling kota. Satu persatu ia perkenalkan tempat incaran orang kaya dan anak gaul. Tempat-tempat di mana kaum menengah ke atas. “Nyou hotel Hermes Palace (ini hotel Hermes Palace)” kata Tailah.
Samin melihat hingga kepalanya berputar 160 derajat. Dengan kecepatan pelan tetapi motor sudah menjerit minta tolong seperti mobil kelebihan muatan, super jhon teriak membahana karena knalpot sudah puntung setengah. “Raya that su ’situti’ tanyou Mae? Han didraup lei polisi karena menggangu ureung laen? (besar sekali suara ‘tuti’ kita Mae? Nggak ditangkap polisi karena mengganggu orang lain?),” tanya Samin.
Tailah hanya mengangguk pertanda tidak dan menunjuk motor di depannya. Samin mulai memahami. “Sangat banyak knalpot racing yang suaranya sama besar dengan kuda besi kita di bengkel-bengkel Min,” kata Tailah sekalian menunjukkan kefasihan berbahasa kotanya. Buktinya tak ada pasal yang melarang untuk tidak dijual. Padahal suaranya sangat mengganggu orang sekitar, bukan?
Banyak anak-anak muda sekarang yang memakai knalpot racing itu untuk ngebut-ngebut di jalan raya, mungkin biar orang lain tahu kalau mereka sedang balapan atau ingin mendengar sebesar apa suara motornya saat dikebut. Bisa jadi tak sanggup membeli knalpot asli karena harganya dua kali lipat lebih mahal dari knalpot racing.
Karena malam minggu, Tailah membawa Samin ke tempat BALI (Balap Liar). Inilah salah satu tabiat sebagian pemuda yang tinggal di Banda Aceh, saat malam minggu mereka berpesta ria di jalan raya dengan tunggangannya. Jalan lurus dipagari kiri-kanannya dengan Ruko. Mereka menggunakan lokasi ini karena pihak berwenang tak melarangnya. Padahal tak begitu jauh dengan pos polisi. Sudah beberapa tempat lain mereka gunakan untuk menyalurkan hobi balapannya, tetapi diusir orang kampung sekitar, sebab suaranya tak kalah besar dengan pesawat Concorde.
Keheranan samin ketika melihat jarum arlojinya sudah menduduki angka 1. “Bukankah orang-orang sudah tidur sekarang, mereka masih saja berbuat onar. Sepertinya kalau di kampung sudah sangat hening. Mungkin ini sebabnya orang-orang pulang ke kampung jika libur datang, Mencari tempat tenang.” Batin Samin menolak keadaan seperti ini.
Keadaan sudah menuntut orang bawahan diam. Ya, terpaksa duduk rapi dan perhatikan ke depan. Begitulah negeri kita ini, semacam metode belajar lama yang tidak memberikan kesempatan murid-muridnya untuk menyanggah jika gurunya keliru atau lupa.
Tailah mengstart warisannya dengan engkol perlahan tapi pasti. Samin menoleh ke belakang pertanda ia takkan kembali lagi ke kota bising ini. Dan mengharapkan kenalpot puntung Tailah tak lagi melekat di pembuangan kuda besinya. Dari itulah ia akan berkampanye untuk menggunakan knalpot asli atau bawaannya.[]
Anak-anak balap ini sangat menganggu, yang pah kita tangkapin semua terus kirim ke Italy, supaya belajar balap sama Valentino Rossi… 😀