Kota Tiri

Beruntunglah orang-orang yang lahir di ibukota, baik kabupaten, provinsi maupun negara, kecuali ibukota lurah dan kecamatan, jika ada. Kenapa? “Karena jika kemudian tak pindah, ia akan tinggal dan besar bersama ibunya, kecuali lelaki yang menikah ke daerah lain,” kata Je.

Sambung dia, “Tahukah bahwa konon katanya kehidupan di kota lebih berkualitas, lebih modernitas, hedonis, inovatif. Sementara orang kampung, tradisionalitas dan kolektifitasnya tinggi, kecuali kini yang sedikit terkikis.”

“Kamu juga anak kampung, Men,” timpal Ari. “Memang. Tapi sekarang kita di mana? Di Banda bukan? Di ibu kota provinsi, Men. Betapa pahitnya hidup di sini. Lebih pahit dari pil pahit,” sahut Je. Siapa yang minta kita kemari, tanya Ari.

Jeh, bukannya kita sendiri yang ingin kuliah ke ibukota, ingin cari perubahan, baik untuk mendapat ilmu, teman baru, wawasan baru, pekerjaaan baru, bahkan jodoh! Lihatlah selain pembelajar dan pengajar, kebanyakan orang luar daerah tetap merantau ke Banda Aceh untuk mencari uang atau kesenangan hidup.

“Oke, oke, saya terima. Tapi kenapa harus Banda Aceh?” Ya, karena kalau ke luarnya tentu tak sanggup. Misal mau lanjut ke Jakarta, Eropa, Amerika, Asia, dan Afrika, kita tak mampu, kecuali melalui beasiswa. Nah, pandai-pandailah kita mencari peluangnya.

Kecuali anak yang sejak lahir sudah dalam keluarga kaya. Misal anak Banda, ia akan tinggal setidaknya di Jakarta, atau sekolah ke luar negeri. Bilamana nanti terjadi sesuatu pada Aceh, umpama Tsunami 2004, baru pulang sebentar menjenguk kerabat.

Maka itu, penghuni ibukota lebih banyak pendatang. Orang Pidie dan Bireuen, hampir ada di seluruh pelosok Banda Aceh. Setelah mereka baru menyusul kabupaten lain plus satu-dua dari luar Aceh dan Sumatera.

Tak percaya? “Kamu bisa lihat ketika hari raya Idul Fitri. Banda Aceh soh dan sepi. Tak ada orang kecuali pribumi dan orang-orang yang tak ada uang untuk mudik dan tak sempat beli tiket lebih cepat, sehingga ketinggalan. Tentu jika kamu mau bersedih-sedih di hari kemenangan, akan melihat itu,” kata Je pada Ari.

Ari menggangguk. Lalu, “biaya hidup di Banda kan mahal, tapi kenapa orang-orang malah mengincarnya?” Kata Je, karena ibu kota itu punya kehidupan yang berbeda dengan daerah tak terkecuali ibu kota kabupaten.

Di ibu kota provinsi, kualitas hidup lebih bagus. Pelayanan pendidikan dari luarnya terlihat baik. Ia merupakan tempat persinggahan wisatawan. Tempat utama digelarnya even-even lokal, nasional, maupun internasional. Primadonanya orang-orang untuk berkumpul, sehingga harga sembako dan kebutuhan pokok lainnya tinggi.

Juga jangan heran jika kemudian ibu kota jadi padat sehingga berpolusi dan panas. Dan bagi sebagian orang yang tak tahan dengan kondisi itu, ia akan mengomentari, “ibu kota lebih kejam dari ibu tiri.”

“Tentu kita tak mau selalu demikian. Saya punya solusi,” kata Ari. Apa? “Bagaimana kalau pemerintah kabupaten/kota masing-masing mengurus sendiri segala aspeknya. Misal untuk membangun pendidikan, tak perlu menunggu ketuk palu setuju pemerintah pusat, tapi silakan saja asalkan baik dan berjalan serta tak merugikan. Sebagaimana pemerintah Jakarta yang memberikan hak otonomi kepada Aceh.”

“Takutnya, banyak pemimpin di daerah-daerah yang makin mudah korupsi,” sela Je. “Yap, korupsi memang kendala nomor satu. Tapi kalau misalnya nanti jadi masing-masing kabupaten/kota mengelola sendiri daerahnya, dengan catatan diawasi provinsi dan pusat, maka tak ada istilah ibu kota lebih kejam dari ibu tiri,” imbuh Ari.

“Tapi,” tekan dia, “nantinya bakal ada kota tiri. Ya, setiap kabupaten kan punya ibukota. Jika setiap penduduk setempat mengeluh segala hal tentang kabupatennya, maka ia akan berkata, ‘kota tiri lebih kejam dari ibu kota provinsi’.”

Seraya tersenyum, “Hah? Itu menurutmu saja. Dan itu pun malah membawa keburukan, bukan kebaikan. Solusimu tak cerdas, ya, menurutmu. Berarti tetap seperti biasanya. Hanya saja, setiap pemimpin, baik pusat, provinsi, daerah/kota, kecamatan hingga keuchik, harus menjadi pemimpin yang tahu diri, tahu rakyat, dan tahu cara menyejahterakan rakyat,” kata Je.

“O, han meujan maju nyan! Kakeuh rakyat selalu dibodohi pemimpin,” timpal Ari. “Homhai. Jeh, kasu sirene. Jak tabuka puasa dilee. Karena kita pemimpin terhadap diri kita sendiri, mari kita sejahterakan tubuh dulu,” ajak Je.[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.