DI Gampong Buhak, setiap orang yang mempunyai profesi tertentu mempunyai gelar tradisional. Orang Pidie menyebutnya nama lakab. Orang Abdya menyebutnya nama gala. Orang kabupaten lain di Aceh, mungkin punya sebutan yang sama dengan salah satunya. Gelar ini disematkan sesuai dengan kegiatannya.
Misal Abu Pakeh, pamannya si Him, digelar “Mikail”. Orang Gampong Buhak atau warga di Kecamatan Butoi akan memanggilnya demikian. Setiap Abu Pakeh keliling kampung dengan motornya dan di jok belakang terdapat galon air mineral di kiri dan kanan, maka akan diseru, “Jeh, Mikail katroh. Ka hei ju siat. (Tu, Mikail sudah datang. Panggil segera).”Abu Pakeh bisa dibilang muge ie (penggalas air). Masyarakat menggelarnya Mikail karena identik dengan malaikat yang menurunkan hujan, yaitu malaikat Mikail. Namun, Abu Pakeh hanya membawa air mineral dalam galon-galon bermuatan 19,5 liter itu. Ia setiap hari keliling kampung. Mencari rezeki dengan menjaja air mineral yang diproduksinya di rumah sendiri.
Lain lagi dengan emaknya Siti, Po Ramlah. Ia digelar Pawang Itek. Ya, karena Po Ramlah seorang peternak bebek, juga pengusaha boh itek jruek (telur asin). Setiap ada khanduri (kenduri), orang-orang di situ akan mendatangi Po Ramlah. Ketika musim maulid Nabi, Po Ramlah kaya mendadak. Hampir setiap hari ada saja pembeli. Bahkan dari luar Kecamatan Butoi.
Nama lakab bisa lahir dari hanya punya satu kemiripan anggota tubuh dengan orang lain. “Misal ada orang Aceh bermata sipit, maka dipanggil ‘Ocin’, singkatan Orang Cina,” sebut Ari. Mereka main tebak-tebakan sekarang. “Ya, misal tubuhnya tinggi atau jangkung, maka dipanggil ‘Si Panyang’,” ujar Isan.
“Ini lagi, misal orangnya pendek, tak segan-segan untuk dipanggil ‘Ateng’, meniru salah satu komedian nasional yang berpostur pendek,” sebut Jailani. “Kalau orangnya hitam dan tampak menyeramkan, maka akan dipanggil ‘Maop’,” sebut Bram.
“Begitulah ciri khas orang Aceh. Ada saja nama lakab,” kata Jailani pada kawannya. Bahkan Aceh punya nama lakab internasional. Aceh Pungo (Aceh Moorden), seperti sebut orang Belanda ketika melawan pasukan Teuku Umar. Ini dikarenakan orang Aceh sangat “gila” dalam berperang, di mana gila itu berarti hebat.
Atau sebutan ‘Cina Itam’ bagi orang Pidie yang pandai berdagang. Dikatakan Cina Itam karena bila Cina asli tentu berkulit putih. Dan, memang orang Cina pandai berdagang. Maka orang Pidie yang jago berniaga digelar Cina Itam. “Memang, orang Pidie banyak yang jadi pengusaha dibanding orang di kabupaten lain di Aceh,” ungkap Brahim, dengan bangga.
Nama lakab itu juga sangat sering terdengar saat konflik mendera Aceh. Nama lakab kerap dijadikan nama panggilan sesama anggota GAM. Ada yang geraknya lincah seperti ayam hutan, maka akan diberi nama “Manok Uteuen”. Kalau ia gesit dan tajam dalam mengintai musuh, seperti harimau, maka digelar “Rimueng Buloh.” Dan lain-lain. “Sekian dulu diskusi kita malam ini. Yak, eh malam!”[]