Kini penduduk dunia sedang mengelukan seseorang dari negeri jauh. Kultus, mengultuskan. Pemujaan pada seseorang melebihi dari yang seharusnya. Bukan suka atau tak suka, ini hanyalah sebab di balik segala peristiwa yang menyita masa.
Obama, ia dikenal penduduk bumi saat ini. Bahkan sebelum ia jadi presiden, hampir semua penduduk dunia menjagokan dia. Padahal, ia bukanlah siapa-siapa orang itu. Bukan saudara, bukan satu negara, bukan seagama, bukan kulitnya sewarna. Hingga timbullah pertanyaan, ada apa dengan Obama? Mengapa ia dijagokan? Lebih bertanya lagi, mengapa ia menang?
Obama amat sadar tentang ilmu komunikasi, tepatnya ilmu mempengaruhi publik. Ia tahu bahwa kini, media massa adalah maharaja yang bisa melintasi bumi dalam hitungan detik. Media massa kini bisa melampaui benua, samudra, apalagi negara. Ia cukup tahu itu.
Makanya ia menghabiskan sebagian besar dana kampanyenya untuk publikasi. Ia tahu media massa adalah raja yang tak pernah salah saat ini. Ia tahu, orang mudah percaya tentang sebuah kabar.
Hal terpenting dalam rumusnya untuk memenangkan Pemilu kemarin adalah, ia tahu kondisi Amerika Serikat saat ini. Ia tahu keinginan bangsanya. Ia paham betul kata filosof di negerinya, ‘Jika kautahu apa yang penting bagi orang itu, kau sudah menguasainya.’ Itulah Obama. Ia tahu yang penting bagi penduduk 13 negara bagian di Amerika Serikat saat ini.
Ia tahu, penduduk Amerika Serikat telah trauma dengan perang yang tak pernah selesai. Ia tahu, Amerika menyesal telah menghancurkan negara lain, namun tak membawa hasil selain kemenangan semu. Ia tahu ekonomi Amerika di ambang kehancuran, hanya karena memerangi negeri orang.
Selain tahu itu, Obama paham metaprogram manusia. Ia tahu, sebagian besar penduduk bumi, termasuk negerinya adalah manusia biasa, yakni, terangsang untuk senang dan ingin menghindari kehancuran. Ia tahu itu.
Karena tahu itu, Obama selalu menggunakan kalimat positif dalam setiap kampanyenya. Ia bilang bisa membuat Amerika terhindar dari krisis. Ia rincikan caranya. Ia bilang bisa membawa kemakmuran ekonomi Amerika kembali. Ia bilang segera menghentikan perang yang menewaskan warga negara dan menguras uang pajak warganya. Ia bilang itu karena ia tahu itulah keinginan penduduk Amerika saat ini.
Sedangkan lawan politiknya, berbicara dengan inisiatif terdokrin. Ia berfikir tentang kehebatan bila menang perang, dan itulah yang tak diinginkan warga negaranya. Begitulah. Kemenangan atau ketidakmenangan seorang kandidat, amat tergantung dari cara ia mengajak orang untuk memilihnya. Di Amerika Serikat begitulah yang terjadi sepanjang sejarahnya. Di negeri penyatuan pulau ini, baru satu dasawarsa belakangan terpakai cara itu. Media massa adalah rajadiraja yang tak pernah salah di zaman ini. Raja media adalah pemilik negara yang sesungguhnya. Ia bisa menaikkan presiden, pun bisa menurunkannya.[]