Dalam sebuah sajak yang berjudul “Orang Penting”—maaf, saya lupa nama penyairnya—disebutkan bahwa segala sesuatu yang terdapat pada orang penting itu sangat penting. Ucapannya penting, bicaranya penting, waktunya penting, berdirinya penting, duduknya penting, hingga kentutnya pun penting. Demikian lebih kurang isi puisi tersebut.
Berkaitan dengan “orang penting” tersebut, Aceh—tepatnya Banda Aceh—sejak awal pekan ini (23 Februari) kedatangan orang-orang penting yang dianggap sangat penting. Betapa tidak, orang penting tersebut adalah seorang presiden negara ini dan seorang mantan presiden negara luar yang berjasa besar terhadap perdamaian daerah ini. Sangking pentingnya dua sosok tersebut, ruas jalan yang umum dilalui orang-orang yang dianggap tidak penting menjadi sangat penting untuk ditutup. Walhasil, orang-orang yang memiliki kepentingan melalui jalan dimaksut, harus membuang keperluannya.
“Aku mau pulang ke kosku di Kampung Pineueng. Biasanya mudah, lewat jalan belakang Romen (sebuah warung kopi di depan Hermes Palace Hotel). Tapi, ini aku harus mutar lagi ke Uleekareng, Simpang Tujuh,” ujar seorang teman yang kala itu baru pulang dari Berawe.
Hal serupa juga menimpa seorang mahasiwa yang hendak ke Pustaka Balai Bahasa Banda Aceh. Hari itu, ia terpaksa mengurungkan niatnya ke pustaka Balai Bahasa karena jalan arah ke sana sudah ditutup dengan alasan penting, bermusabab ada orang penting di Hermes Palace Hotel.
Ini baru perkara numpang lewat di jalan. Ada lagi yang lebih penting saya ceritakan. Ya, bagi saya, cerita ini penting untuk diceritakan, sama pentingnya secangkir kopi pagi dan kopi sore bagi ureueng Aceh yang sudah keranjingan ‘air hitam’ tersebut.
Seperti diketahui, perkara ngopi bagi sejumlah orang di Aceh menjadi penting. Sangking pentingnya, jenis kopi dengan citarasanya pun menjadi penting diketahui. Misalnya, kopi Takengon berbeda rasa dengan kopi dari daerah lain. Berikutnya, perkara tempat ngopi jua menjadi penting bagi sebagian orang. Ada yang orang yang mengaku kalau tidak kena kopi Solong, belum terasa ngopinya. Sejumlah orang lainnya akan menyebut bahwa kopi Cek Wan lebih penting daripada kopi di tempat lain. Yang lain akan lain pula tempat ngopi yang dianggapnya pentignya, entah Cek Yuke, Rumah Kopi, Kopi Tiga, dan tersebut pula sebuah warung kopi tempat anak-anak muda biasa nongkrong di Lampineueng, yakni Warkop SMEA dan Warkop Romen.
Nah, sebuah cerita tentang salah satu warung kopi di Lampineueng itulah yang saya anggap penting untuk saya kisahkan. Betapa tidak, kawula muda, terumata anak sekolah dan mahasiswa yang sudah biasa mengecap citarasa kopi Romen, dalam dua hari lalu (Senin dan Selasa, 23-24 Februari) terpaksa harus mengurungkan niatnya. Ada orang penting dua hari itu yang minum kopi di Romen. Sangking pentingnya kopi Romen pada dua hari itu bagi orang penting yang datang dari pusat, warkop tersebut menjadi sangat penting untuk ditutup bagi masyarakat biasa, walaupun sudah biasa minum kopi Romen.
“Mengapa Romen ditutup dua hari lalu,” tanya saya kepada salah seorang pramusaji di Romen, Kamis, kemarin.
“Pak Presiden minum kopi di sini,” jawabnya.
“Jadi, kalau presiden mau minum kopi, masyarakat biasa tak boleh lagi minum? Kalau begitu, kami pulang saja,” sahut saya bercanda. Pramusaji yang saya taksir baru tamat SMA itu senyum sembari berlalu ke dapur kopi, mengambil pesanan saya dan teman-teman.
Begitulah pentingnya si orang penting. Sangking penting, bukan hanya jalan yang diblokir, warung kopi pun menjadi penting ditutup untuk orang-orang yang dianggap tidak penting—seperti saya dan teman-teman saya mungkin.
Selepas si orang penting nomor wahid di negara ini beranjak dari Hermes, ruas jalan P. Nyak Makam Lampineueng kembali dibuka. Namun, kemarin malam (malam Kamis-red), ternyata ada orang penting lainnya di hotel megah tersebut. Sangking penting itu orang, ruas jalan lintasan Lampineueng kembali ditutup. Padahal, waktu sudah menunjukkan menjelang pukul 12 malam. Saya yang biasa pulang dari kantor tepat tengah malam begitu dan menggunakan lintasan Lampineueng itu, terpaksa membelokkan sepeda motor saya kembali ke arah Simpang BPKP. Beginilah tinggal di daerah penting di antara orang-orang penting. Mengambil arah lain pun menjadi sangat penting.
Namun, saya hanya diam, karena saya bukan orang penting. Dalam hati sempat terlintas juga, bagaimana kalau suatu saat saya menjadi salah satu orang penting di negeri ini, apakah hal hari ini akan menimpa orang-orang ‘tidak penting lainnya’???[]