Prasangka

Dalam keremangan cahaya kelam lampu pijar kamar tidur, matanya terbuka lebar, lurus menatap langit-langit kamar. Aroma parfum, kolonyo dan krem handbody lotion dari tubuh istrinya serta semerbak wangi rambut perempuan itu menggiring pikirannya ke arah duga-sangka yang naif.

Tentu saja istrinya itu tidak tahu secara tepat jika ia akan pulang malam ini. Kalau begitu kenapa dia harus berdandan dan membaui dirinya begitu semerbak? Jadi, kalau malam ini dia bersolek begini cantik sebenarnya untuk siapa?

“Akh!” Nurdin mendesah galau. Ia berusaha menepis bisikan syaitan. Bisikan syaitan? Bukankah makhluk syirik itu sangat jujur dalam soal-soal degil seperti ini? Jadi, jadi, kalau begitu, untuk siapakah dia berdandan secantik itu malam ini?! Untuk siapa?!

“Hap!” Nurdin mendadak bangkit. Dalam keremangan yang seperti itu wajahnya tampak legam-padam dijalari amarah yang datang tiba-tiba.

Ingin ia meraih dengan kasar bahu Laila supaya menghadap ke arahnya. Dan ia akan bertanya dan bertanya, “Kau! Kau, Laila! Untuk siapa sebenarnya kau bersolek seperti itu malam ini?! Haah?! Untuk siapa?! Katakan! Apakah kau ada janji dengan seorang lelaki tertentu di kampung ini?! Cepat katakan!”

Tetapi apakah itu sebuah pertanyaan yang patut? Bukankah itu pertanyaan yang sangat buruk, vulgar dan sangat menyakitkan bagi Laila?

Kenapa Laila harus disakiti lagi? Belum cukupkah dia selama ini menindih-nindih Laila dengan kesakitan yang amat dahsyat itu? Apakah bagi perempuan hidup dimadu itu tidak sakit?

Tentu kasihan Laila yang dua tahun terakhir ini telah berstatus istri tua yang jarang dibezuki.

“Ooh,” Nurdin mendesah lemas. “Astaghfirullah. Ya, Allah, jauhkan syaitan dari sejengkal jarak pisah tidur kami malam ini,” Ia beristighfar, memohon dan beristighfar lagi beberapa kali sembari merebahkan dirinya kembali dengan lunglai. Diusap dahinya. Berkeringat.

Pada saat itu istrinya menggeliat, mengubah posisi tidur. Terlentang. Namun Laila samasekali tidak terjaga. Pulas. Damai. Sedamai tidur bayi merah.

Prasangka adalah bagai sejengkal jarak pisah tidur bermalam-malam dengan iblis. Sedangkan kejujuran beraroma parfum, kolonyo dan krem handbody lotion serta bagai semerbak wangi rambut perempuan; seumpama damai sedamai tidurnya sang bayi merah.

Padahal dengan instingnya yang tajam sebagai seorang istri yang telah kehilangan setengah kasih sayang, Laila telah mampu membaca kodrat birahiah, bahwa Nurdin akan pulang malam ini.

Lelaki, betapa sering, karena kebodohan memahami romantika cinta terdalam perempuan, lalu ia mengelabui kelemahannya dengan kedigdayaan prasangka.

“Astaghfirullah. Ya, Allah, jauhkan iblis dari sejengkal jarak pisah tidur kami malam ini,” desah Nurdin berkali-kali hingga pagi.[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.