“Abang dari mana rupanya?” pengurus penginapan itu mengajukan pertanyaan ini karena waktu di meja administrasi tadi, bahkan sampai mengantarku menunjukkan kamar, belum juga sempat ia minta kartu identitasku untuk dicatat di buku tamu.
“Dari Sigli.” “Dari Sigli?” “Ya.” “Dengan sepeda motor?” “Benar.” “Sendiri?” “Hmm, sendiri.” “Dari Sigli dengan sepeda motor, sendiri, jauh sekali ya?”Tentu saja ia ingin mengatakan, seandainya pergi bersama seseorang, baik kawan, isteri, apalagi pacar, atau seseorang yang lain yang dapat diajak berbincang tentang segala hal yang dipapasi di jalan dan berbagi suka-duka di semua peristiwa dalam kemusafiran, mungkin perjalanan takkan terasa jauh.
Adalah benar apa yang dia katakan. Dari Sigli, mengendarai sepeda motor, sendiri, dan sang petualang itu sekarang ada di depan hidungnya, di tapal batas Aceh Tenggara-Kabupaten Karo, Sumatera Utara setelah menempuh dua hari-dua malam perjalanan; menyeberangi lembah dan gunung-gunung kecil antara Keumala-Tangse, menerobos turunan terjal, dakian menukik dan tikungan-tikungan patah yang gelap antara Geumpang-Kubu Aneuk Manyak-Meulaboh, menerjang silau jalanan di bawah matahari Barat Daya dan hujan deras dalam hantaman petir dan guntur antara Nagan Raya-Meukek, memang jauh.
Tapi memang tidak kukatakan, dan ia tak perlu tahu. Kesendirian di perjalanan yang penuh keterasingan, inilah yang tengah kuinginkan. Berdialog dengan diri-sendiri di setiap kesempatan, terutama tatkala jalanan menawarkan kesenyapan tanpa ada yang akan berkompetisi dalam kecepatan untuk mendahului, dan para lawan nun di depan yang akan berpapasan.
Juga untuk mengagumi dengan potensi ketakjuban sendiri, tanpa dikotori komentar dan pendapat manusia lain walau itu teman karib sekalipun dari belakang telinga, yaitu di setiap cantiknya sudut wajah alam yang terlintasi yang sebelumnya memang tak pernah terlihat oleh mata ini.
Juga membisiki hati sendiri kala melintas di sebuah perkampungan dan melihat pemuda bertelanjang dada yang baru pulang dari ladang, kawanan anak-anak bertopi Afghanistan yang sedang kembali dari rumah pengajian, perempuan berwajah alami di balik jilbabnya yang bersulam pinggir, “Tinggi besar pemuda di sini; bocah-bocah ini, orang tua mereka sangat peduli; aduhai, perempuan di kampung ini, wajahnya manis-manis.”
Dan lelaki penjaga penginapan ini memang tak ada sangkut-pautnya untuk tahu, aku sedang menghindar dari setiap sudut alam yang hanya menawarkan pemandangan itu-itu saja; dari setiap orang yang kukenal yang hanya menawarkan senyum, tawa, kata dan cerita yang sama di setiap saatnya; dari setiap mulut yang suka menghirup kopi dengan nikmat hasil traktiranku tiap pagi di Familiar, warung kopi langganan di tepian sebelah barat kota Sigli.
Aku juga tengah menghindar dari basa-basi yang tak pernah henti dan puja-puji setinggi langit padahal yang diharapkan cuma satu; pinjaman dan pinjaman sementara, semudah biasanya, untuk menambah modal usaha atau buat biaya entah-entah apa; ya, dari semua mereka-mereka itu, yang tak tahu atau tak mau tahu, sisa harta sang orang kaya Sigli sedang di dasar cangkir.[]
Mantap kali tulisan qe, Bang. Gaya motor traveler kali.