Di kampungku, Pak Sekgam yang tua itu marah-marah. Ia marah karena memang merasa harus marah. Begitulah kata Apa Basyah. Kalau kau mau tahu lebih lanjut, kau harus bertanya pada temanku, namanya Apa Bangai. Aku sudah bertanya padanya dan dia telah menceritakan semuanya padaku.
Apa Bangai menceritakan padaku tentang alasan Pak Sekgam Marah. Kata dia, Pak Sekgam marah karena di kampung itu baru saja ada sebuah Koran memberitakan tentang buet meukeurabee Pak Sekgam. Koran itu baru saja muncul di kampong itu, namanya Koran Saja. Kata Apa Bangai, usia Koran itu baru mencapai dua hari.
Seorang wartawan di Koran baru itu, namanya AA. Ia menceritakan tentang Pak Sekgam di sudut gampong. Ia bercerita pada seorang wartawan lain yang bekerja di Koran itu juga, namanya UU. AA bilang pada UU bahwa ia berjumpa dengan Pak Sekgam, saat Pak Sekgam pulang dari kampung seberang.
Dengan percaya diri AA mendekati Pak Sekgam. Ia menyapa dengan penuh hormat. Namun di luar dugaan AA, ternyata Pak Sekgam cuek. Ia menoleh sekilas saja, seraya menelepon seseorang yang berkesan akrab.
“Pak, di tahun baru ini, bagaimana tanggapanmu tentang Koran kami?” tanya AA percaya diri.
“Koran kalian, Koran Saja tak profesional, bukan seperti Koran Profesional. Mereka profesional. Kalian membuat tentangku tanpa mewawancaraiku. Lagi pula kalian memuat tentangku bukan sebagai berita, tapi di opini,” jawab Pak Sekgam bangga, bisa sempat menghina wartawan Koran yang telah membuka aibnya, kendati sikap itu sebenarnya menandakan bahwa Pak Sekgam belum bisa bersikap seperti sikap orang besar.
“Kalau begitu, berilah nomor telepon Bapak, agar kami bisa hubungi bila ada berita tentang Bapak,” pinta AA, seraya melirik kiri kanan. Untung saja tak ada orang lain yang mengerti bahasa kampungnya di Bandara itu.
“Gak ada nomor teleponku. Hp-ku rusak. Minta saja nomor ajudanku!” ucap Pak Sekgam sambil menekan tombol Hp-nya.
Melihat sikap Pak Sekgam, AA menilai bahwa lelaki tua itu tak takut pada wartawan. AA yang tadi begitu bangga pun meninggalkan Pak Sekgam yang merasa menang, karena bisa memperlihatkan kekuasaannya pada wartawan yang telah mempermalukannya.
AA pun pulang ke kampung. Tanpa melakukan yang lain, ia membuka kamus mencari arti kata ‘profesional.’ Setelah membuka lembaran kuning berkali-kali, ia menemukan arti kata profesional. Di sana ditulis, profesional artinya ‘pemain yang memiliki bayaran tetap.’ Membacanya, AA manggut-manggut, namun masih bingung dan penasaran tentang profesional.
Ia menuju Koran Profesionalis, untuk mengetahui arti profesional yang dimaksudkan Pak Sekgam. Sampai di sana. Ia tak menemukan arti yang ia cari, akhirnya ia pulang. Lalu ia menuju kantor Pak Sekgam. Di sana ia bertemu dengan ajudan Pak Sekgam. AA pun mengatakan maksud kunjungannya.
“Pak Sekgam bilang, Koran Saja tak profesional, bukan seperti Koran Profesionalis. Katanya kami tak mewawancara dia saat memuat tentangnya. Padahal, setelah kuteliti profesional di kamus, aku dan koranku adalah profesional,” AA bicara pada ajudan Pak Sekgam.
“Aku tak tahu dari mana harus mengatakan. Kau terlalu bodoh, bahkan lebih bodoh yang kuduga. Itu kamus bahasa. Pak Sekgam punya kamus sendiri untuk kata yang kau maksud,” ajudan Pak Sekgam tertawa.
“Apa Kamusnya?”
“Lobi!”
“Mana ada kamus bernama lobi,” bantah AA.
“Kau memang terlalu bodoh dalam permainan kampung ini. Tentu saja ada kamus lobi, dan di sana punya arti sendiri untuk setiap kata,” ucap ajudan Pak Sekgam.
“Kalau begitu, apa arti profesional dalam kamus itu?”
“Profesional dalam kamus Lobi, yang dimaksudkan Pak Sekgam adalah seperti yang dilakukan oleh Koran Profesionalis, begitu ada berita korupsi Pak Sekgam, wartawan Koran itu datang padanya. Lalu, Pak Sekgam menyetor beberapa tumpuk uang. Itulah profesional dalam kamusnya.”[]