Menjelang Idul Adha, di Banda Aceh, kedai sudah banyak yang tutup. “Mereka sudah pulang kampung,” ujar Bang Yus. Tukang cuci pakaian juga sudah tak mau terima order. Karena lebaran haji jatuh pada hari Kamis, maka balik ke Banda Aceh Ahad sore. “Tanggung,” kata langganan cuci saya.
Penjaga kedai sampai tukang laundry rata-rata kaum urban. Mereka berasal dari Aceh Utara, Bireuen, Takengon dan paling dekat Aceh Besar. Tukang laundy dan kedai kopi serta warung nasi seakan sudah menjadi jantung kota Banda Aceh. Irama kota seakan dikendalikan di sini. Bahkan masalah politik sampai gosip politik juga seringkali diputuskan di kedai kopi.
Kedai kopi selain sebagai tempat bergosip, juga sebagai ajang lobi cari proyek. Tempat bertemu teman yang mengasyikkan. Bagi pengangguran, tempat ini menjadi sumber rezeki; setidaknya sebagai tempat “nodong”. Bagamana tidak, kaum pengangguran berkelas, punya kolega yang sudah jadi pejabat atau pengusaha sukses. Di kedai kopi ini biasanya sang kolega bakal nongol. Di sinilah kebutuhan bayar rekening listrik, telepon, air sampai uang sekolah anak diekskusi.
Warung nasi tak kalah pentingnya. Keluarga tertentu, para ekspatrait, dan perantau mengandalkan tempat ini. Tak mau repot-repot masak di rumah, maka warung nasi menjadi tumpuan. Tak mau mendengar keluhan istri karena harga bawang merah yang meroket maka warung nasi sebagai tempat untuk enjoy.
Tukang laundry, tak bisa dianggap sepele. Sama pentingnya dengan warung nasi. Baju bersih, langsung licin karena sudah didompi, tak perlu meropotkan istri, adalah alasan taktisnya. Nah, kalau mereka di Idul Adha ini mudik, maka bagai sebagian orang kesehariannya sepertinya dicerabut dari akarnya.
Ini pula yang tampaknya membuat Bang Saeful agak bete beberapa hari ini. Bicaranya ketus. Gampang tersinggung. Mukanya ditekuk. Manyun melulu. Pokoknya nggak sedap saja.
Saya menjadi teringat ketika Bang Saeful terbang ke Jakarta beberapa pekan lalu. Sembari mengurus bisnis, dia minta tolong dicarikan pembantu rumah tangga (PRT). “Tak mudah Bang cari pembantu,” kata saya. “Kalau Abang mau mesti ke Jawa Tengah atau Jawa Timur. Di sana banyak.”
“Boleh!” katanya.
Kami pun berangkat ke Purwodadi, Jawa Tengah. Di sini daerahnya agak kurang subur. Kebetulan saya punya teman di sana. “Orang-orang sudah ke Arab Saudi. Sebagian lagi ke Malaysia,” ucap Mas Kun, begitu tahu maksud kedatangan kami.
Di sebuah desa kami berjalan-jalan. Desa ini hanya dihuni orang-orang tua. Kalau pun ada pemuda cumalah sedikit. “Anak-anak muda di sini semua merantau. Sebagian menjadi TKI ke luar negeri,” ucap Mas Kun.
Kami menjumpai Mbah Karta yang sedang menyangkul di sawah. “Biasanya, anak saya mengirim Rp3 juta per bulan dari Arab. Rumah yang kami bangun itu hasil keringat anak saya,” kata Mbah Karto menunjuk sebuah rumah tak jauh dari sawahnya.
Mbah Karta ditemani menantunya menyangkul. Anak Mbah Karta adalah istri lelaki itu.
Kami akhirnya pulang dengan tangan hampa. Bukan karena tak dapat PRT. Angka-angka yang disodorkan itulah yang membuat Bang Saeful nyalinya menciut. “Gaji PRT, seperti manajer saja,” gumam Bang Saeful.
Saya mencoba menjelaskan, tak semua begitu. Di Jakarta gaji PRT paling Rp500 ribu. Itu pasarannya. Kerja mereka sangat memuaskan. Lantai rumah kinclong, pakaian licin dan semua urusan dapur dijamin beres. Sejujurnya untuk mendapatkan yang begitu mesti sabar. Karena ini untung-untungan juga.
Hanya satu pernyaan dalam hati saya; mengapa kalau gaji manajer Rp3 juta sulit mencari PRT di sini?[]