“Sadis!” tentu kata itu sudah membiasa di ujung lidah kita saat mendengar atau membaca sebuah berita tentang kriminal. Demikian halnya dengan sebuah berita di Harian ini dua hari lalu. “Seorang anak dibuang di Rumah Sakir Umum Daerah Cut Meutia”. Kata “dibuang” itulah yang menimbulkan ungkapan sadis di lidah.
Bagaimana tidak, seorang bayi masih merah, katakanlah baru menikmati matahari, dibuang. Kiranya kesalahan apa yang pernah dilakukan si kecil mungil selama dalam kandungan sehingga saat melihat kebesaran Tuhan berupa alam semesta, mesti dibuang oleh orang yang melahirkannya.
Sementara itu, di seberang sana, kita juga sering membaca dan mendengar tentang mesum yang kian meraja lela, mulai dari kalangan bawah sampai kalangan atas, mulai dari tukang tanam tomat hingga tukang buat pesawat, mulai dari masyarakat awam sampai kepada pemangku syariat, mulai dari yang duduk beralas koran sampai dengan pekerja kantoran, mulai dari yang tinggal di bawah tenda sampai pada yang menetap di perhotelan. Entahlah, singkatnya cerita mesum-khalwat yang dilarang agama masih saja kita baca menghias media massa.
Lantas, salahkah jika ada praduga “enak main masyuk” enak pula buang anak? Oh, subhanallah… semoga saja anak yang dibuang itu bukan karena buah dari perselingkuhan atau perzinahan. Sungguh, saya tak bermaksud sangka jelek seperti itu. Masih ada alasan lain mengapa anak itu tak dipelihara oleh orangtuanya, misalkan saja tak ada biaya—dan semoga anak yang dibuang di RSUDCM itu memang karena orangtuanya berpikir tak ada biaya, bukan karena aib sehingga dibuang. Dan sungguh tak pantas anak yang dilahirkan seorang ibu antara dua pilihan—hidup atau mati—dianggap sebagai aib.
Terlepas dari semua sakwasangka itu, kasus buang-membuang anak di negeri seberang karena hasil di luar nikah bukanlah hal baru. Karena itu, sangat saya takutkan jika kasus itu mampir di gampông kita yang bernama Aceh ini. Sebab, sebuah cerita dari negeri seberang ada juga yang bukan lagi menjadi cerita baru di gampông kita, yakni duek dua rapat ateuh honda watee seunja, sôk bajee keutat ka deungon pusat deuh uram pha.
Padahal, kearifan uereueng syik kita mengatakan, “Adak han jihôi aneuk ureueng tuha, beujihôi aneuk ureueng putéh ôk.” Maka adalah sebuah kewajaran jika kita diingatkan dalam setiap tindakan agar tidak mempermalukan orang tua, tidak mempermalukan kampung, jua tidak mempermalukan jati diri sendiri. Kata indatu, “Buet ubé buet. Bèk buet walanca walancé, awai pubuet dudo piké.”
Sebab, kalau sudah terjadi, yang namanya aib sangatlah berat. Tak seorang pun mau bersahabat jika sudah tahu yang mana emas yang mana karat. Entahlah…[]