Salah Pilih

INI kali pertama ia datang ke ibukota, sudah lama ia bermimpi ingin melihat langsung. Kata temannya yang sudah duluan datang, kota sangatlah bagus, indah dan ramai, bukan seperti kampungnya, jam 8 malam sudah sunyi.

“Apa yang selama ini tidak bisa kau dapat di kampung akan kau dapat di kota,” kata Radi, satu malam di panteu jaga. Binsen tersenyum simpul, seolah hanya tinggal menunggu waktu.

Selepas itu, tiap malam sebelum tidur apa yang dibilang Radi terus menghantuinya. Apalagi di kota ia akan mendapat satu hal yang sangat diimpikan. Binsen sangat ingin merasakan menjalin hubungan dengan perempuan. Bahasa kerennya pacaran. Memang di kampung tidak ada perempuan yang mau menjadi kekasihnya, sudah lima ia dekati. Mulai Si Runi, Maruwi, Suni, Murni dan terakhir si Mukti. Semua menolak, alasan mereka simpel, Binsen bukan lelaki berada, juga bukan lelaki terpelajar. Sejak itu Binsen membuang jauh-jauh rasa suka kepada perempuan.

Tapi sekarang ia begitu semangat, semakin giat ia bekerja pok sumpon menabung uang agar bisa ke kota. Rp500 ribu terkumpul. Itulah modal ke kota.

Sampai di kota ia tambah bingung, sekaligus kagum, hatinya berdecak riang. Benar saja kata Radi di kota perempuan lebih cantik-cantik daripada kelima cewek yang pernah menolaknya. Berbagai macam perempuan ia temui di sini. Mulai dari yang kurus tinggi dengan hidung mancung hingga yang pendek dan pesek.

Binsen menimbang-nimbang perempuan seperti apa yang akan ia dekati dan meminta menjadi kekasihnya. Tiga detik, lima perempuan melintas di depannya, dengan gaya dan ciri yang beda. Binsen semakin tercengang, setiap yang lewat menebarkan aroma parfum yang berbeda pula. Hidungnya sampai hangeup menciumnya.

Saat senja mulai mewarnai langit barat, Binsen masih duduk di tembok jembatan dekat taman kota. Sebenarnya sudah ada tipe perempuan yang akan diincarnya. Tak perlu cantik asal ia setia dan peduli. Itu saja? Oh tidak,  mau menerima ia apa adanya.

Tapi ia tambah gusar, semakin gelap perempuan yang lewat semakin ramai, tak ada putusnya. Seperti parade saja. Kali ini tampilan mereka lebih mencolok, baju mereka rata-rata dengan warna terang, lengkap dengan gambar juga, mungkin karena malam. Begitu pikir Binsen.

Keputusan tadi ditariknya kembali, ia tak yakin tadi tipe perempuan idamannya. Kini matanya tak lepas menyaksikan perempuan yang melintas. Ia tertarik dengan baju yang mereka pakai; biru gambar bintang di punggung, kuning dengan pohon beringin di dada, putih ada batang padi di bawah ketiak, hijau lengkap dengan Kakbah di lengan.

Sepertinya ada yang tak tahu memilih warna, hanya menggabung biru-putih ditambah runcing-runcing bak matahari. Binsen tertawa, ketika melihat ada yang memakai baju dengan warna plang-pleng, hitam, kuning, abu-abu, merah jambu, biru muda, biru gelap, ka meusapat.

Jam hampir masuk pertengahan  malam. Lelah, ia mau pulang, karena besok ia harus bekerja adok semen dan angkot bata. Sebelum kakinya melangkah ia tercengang seseorang melintas di depannya dengan sangat pelan. Binsen tak lagi melihat rupa, perempuan atau bukan, justru ia terlena dengan baju berwarna. Sosok itu memakai baju merah menyala, dua garis hitam putih kiri-kanan. Binsen terpesona, kontan ia berkata.

“Aku pilih yang ini.” Padahal yang baru saja melintas adalah waria.[]

4 thoughts on “Salah Pilih

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.