Para geuchik di kabupaten Aceh Paki-Paki II senang sekali hatinya ketika mendengar berita bahwa mereka akan dibawa studi banding ke Pulau Jawa. Tak ayal, Geuchik kampung Pengko serta merta menjadi pemurah. Ia mentraktir semua orang yang duduk di warung kopi Di Langit Senja Berbianglala pada hari keberangkatannya. Dan dengan mengenakan pakaian safari, dikenakan pula kacamata hitam, dengan gagah ia menaiki mobil rombongan geuchik itu. Para orang kampung mengantarnya hingga mobil yang ditumpanginya hilang dari pandangan.
Dua hari setelah beranjak dari kampung halaman, para geuchik terbang ke tujuan. Senang tak kepalang hati mereka. Bagi sebagian besar dari geuchik itu, naik pesawat udara adalah pengalaman pertama yang tak akan mereka lupakan hingga tua. Namun, perasaan senang itu mereka sembunyikan dalam hati mereka yang geli. Maka rata-rata di dalam pesawat memasang muka seolah sudah sering sekali mereka bepergian dengan pesawat udara. Bahkan, satu dua malah bercerita pada kawan di sampingnya, dulu waktu mereka ke Medan bangku yang mereka duduki bukanlah di bangku sekarang, dua baris ke depan, atau di tempat duduk kawan yang mendengar cerita bohong geuchik yang besar cakap itu. Padahal jelas-jelas bila ke Medan mereka selalu menggunakan mobil, bukan pesawat terbang. Kawan geuchik itu mengangguk antara membenarkan dan mengiyakan saja.
Sesampai di Jawa, para geuchik ternganga-nganga. Gedung-gedung besar dan rapi berdiri, belum pernah mereka saksikan sebelumnya. Mereka kemudian memasuki tempat istirahat dan esoknya mulai berkunjung ke sana-sini. Di Jawa, para geuchik lebih banyak menghabiskan waktu untuk bermain daripada ikut studi atau belajar ini itu dari kampung-kampung di sana. Mereka rata-rata membawa kamera demi berpose sebagai kenang-kenangan untuk nantinya dinampakkan pada semua kerabat atau diperbesar dan dipajang di ruang tamu sebagai tanda bahwa mereka pernah ke Jawa. Di sana mereka menikmati hidup laiknya di surga. Tinggal di losmen yang mewah dan makanan selalu saja telah siap disajikan.
Mereka mengikuti beberapa acara dengan setengah hati. Setengah hati lainnya memikirkan kapan lagi mereka akan jalan-jalan dan berpose riang. Hampir tak seorang pun membawa semacam catatan. Studi banding itu hanyalah formalitas, selebihnya adalah main-main belaka. “Begitulah cara pejabat menghabiskan uang rakyat,” kata Nasir, bujang lapuk yang memiliki tabiat iri setengah mati.
Berhari-hari di Jawa, dari mulut istri geuchik kampung Kuta Ganteng masyarakat tahu bahwa geuchik mereka di Jawa telah makan semua makanan yang seperti ditayangkan di televisi. Ternganga semua masyarakat yang tahu hal itu. Dalam canda—sebenarnya di hati mereka serius dan mengharapkannya—para orang kampung berkata kiranya geuchik mereka membawa oleh-oleh semacam apel, ayam goreng KFC, atau minyak goreng Bimoli.
Namun, sungguh tak dinyana sebelumnya, petaka rupanya menimpa para geuchik di rantau sana. Pihak panitia pelaksana kehabisan uang untuk membeli tiket pulang mereka. Linglung sudah pikiran para geuchik. Di Jawa, pada siapa hendak menggantungkan harapan untuk sekedar memberikan mereka makan. Ingin pulang mereka tak ada uang. Maka dalam pada itu, mereka hanya bisa merenung dan bersepakat jika saja kehabisan uang mereka sama-sama akan memburuh bangunan di sana. Waktu studi banding sudah habis. Belum ada kabar tentang kelangsungan kehidupan mereka. Sebagian yang memiliki saudara di sana malah memutuskan untuk menginap pada saudaranya, sebagiannya lagi duduk termenung dan berkali-kali menelpon kampung dengan suara yang didengar nun di sana seperti terisak pilu. Geuchik kampung Kuta Ganteng malah menyuruh istrinya menjual tanah mereka.
Akhirnya, setelah menunggu hingga lebih seminggu, mereka berhasil juga dipulangkan dari Jawa. Sesampai di kampung, geuchik Kuta Ganteng bercerita indahnya jawa sembari membawa-bawa foto mereka di sana. Di sudut warung kopi Di Langit Senja Berbianglala, Pengko dan Wak Lah mencibir dan tertawa.