Zaman boleh berganti, kereta angin boleh berlalu, bulan madu boleh hanya tinggal kenangan, tetapi kecerdasan perilaku dan wawasan dalam menyikapi apa makna jalan raya di tengah lalu-lalang ribuan kenderaan bermesin di tiap menitnya, inilah yang akan menyelamatkan situasi kini dan masa datang dari generasi-generasi cacat fisik dan mental akibat ganasnya jalan raya.
Lihat tuh, di sana, seunit sepeda tua berdiri terpaku di tepi jalan. Para pelintas memandang sebelah mata pada sepeda itu; ada yang samasekali tidak meliriknya; tapi tentu ada di antara para pengguna jalan yang menatap sekilas pada sepeda itu sebagai bagian dari penggiring kenangan masa lalu saat di mana kereta angin masih menjadi andalan sarana transportasi gerak cepat di tahun-tahun enampuluhan.
Sudahlah. Sudah. Zaman sudah meminggirkan dia kendati tak terlalu di tepian. Sekarang di lorong desa, di lintasan kampung, apalagi di jalan raya, tiap pagi, siang, sore hingga menjelang telat malam sepeda motor dengan berbagai merek dan jenis melintas tiada henti dan bahkan kadang bagai konvoi yang satu dua di antaranya melaju dengan kecepatan mengerikan.
Dalam enam tahun terakhir laju pertumbuhan dan antusiasme terhadap kepemilikan sepeda motor tumbuh pesat. Secara gamblang dapat dikatakan, jangankan di kota, di desa-desa pedalaman pun rata-rata nyaris setiap rumah memliki seunit sepeda motor.
Terlepas bahwa itu merupakan indikator kemakmuran pereknomian masyasrakat, namun fakta meningkatnya daya beli dan gairah kepemilikan sepeda motor telah menghadirkan satu fakta tragis lainnya dalam wujud banyaknya korban kematian usia muda akibat kecelakaan lalu-lintas dan tak terhingga banyaknya pemuda yang cacat fisik bahkan mental akibat benturan keras saat terjadinya kecelakaan di jalan dan mereka dapat dipastikan telah kehilangan masa depan secerah pemuda-pemuda sempurna fisik.
Nah, itu konsekwensi dari laju pertumbuhan daya kepemilikan kereta roda dua bermesin yang juga pada saat yang sama laju perkembangan kepemilikan kenderaan roda empat nyaris tak kurang peningkatannya dan wahana utama tempat tumpahnya semua itu adalah tak lain: jalan raya sehingga sekian meteran lebar jalan yang beberapa tahun lalu terasa begitu meleluasakan, kini terasa begitu sempitnya.
Dan terrnyata, budaya dan perilaku pengguna jalan sangat mempengaruhi usaha meminimalisir fakta-fakta tragis di jalan raya. Seorang pengendara yang santun barangkali juga tak ada gunanya bila dari arah depan, belakang dan kiri-kanannya sang pengendara lain ugal-ugalan; dia akan ikut terseret juga dalam arus bahaya.
Keteraturan prasarana dan kepatutan perilaku dalam menggunakan hak masing-masing di jalan umum, akan menghindari negeri ini dari kemungkinan kehancuran sekian persen generasi pada zaman di mana kondisi perekonomian tengah menggairahkan orang untuk saling memiliki seunit sepeda motor untuk dirinya masing-masing.
Di seputaran tahun enampuluhan kasus kecelakaan lalu lintas jarang terdengar. Umumnya waktu itu orang masih menggunakan kereta angin untuk kenderaan pribadi gerak cepat. Tingkat kecepatan tertinggi kereta angin tidak sampai mematikan pengendara apabila bertabrakan. Tetapi sepeda motor benar-benar mesin pembunuh apabila sang pengendara hanya mengedepankan nafsu ketergesa-gesaannya sendiri.
Nah, membayangkan jalan raya dan sepeda motor sebagai pembunuh berdarah dingin yang sangat mengerikan, membuat saya tiba-tiba terkenang akan nostalgia bulan madu saat saya masih suka membawa jalan-jalan isteri saya dulu di sandel belakang kereta angin menuju ke Pasai Seulasa Geureugok untuk menikmati minuman cindoi. Saya dan isteri sangat menikmati perjalanan tanpa keraguan akan ditabrak orang dari belakang.
Tapi, Tuan, zaman sudah berganti, kereta angin sudah berlalu, bulan madu hanya tinggal kenangan, sementara yang ingin saya katakan, bahwa kecerdasan perilaku dan wawasan dalam menyikapi apa makna jalan raya di tengah lalu-lalang ribuan kenderaan bermesin di tiap menitnya, inilah yang akan menyelamatkan situasi kini dan masa datang dari generasi-generasi cacat fisik dan mental.
Selamat berkendara paramuda. Tapi, hati-hati. Sepeda motormu adalah harimaumu. Dan jalan raya adalah rimba ganas yang siap menerkammu dari arah mana saja meski lengahmu hanya dalam sekedip mata. Selamat berkendara, paramuda. Zaman menuntutmu harus selalu awas, cerdas dan berwawasan. Kendati hanya di jalan raya.■