MUSABAB Pengko telah menulis perihal kampusnya sekali dua di media, kini ia dikirimkan surat peringatan. Surat kaleng, kata orang. Bahwa surat itu kemudian berisi menggertak atau mengancam apa-apa yang telah Pengko tuliskan, ia sama sekali tak peduli. Ia tak gubris perihal isi surat itu. Ia sedang tertarik pada kisah seorang tukang kisah yang sedang resah dan tentang kampungnya yang sedang gelisah.
Tukang kisah itu tak lain adalah kawan akrab Pengko sendiri. Maksum, namanya. Berhari-hari laki-laki putih, tampan, dan tinggi itu tercenung-cenung dalam duduknya. Muasal perkara adalah sebuah pertemuan dengan gadis cantik di suatu petang nan menarik. Sungguh singkat pertemuan itu. Dalam hiruk warung kopi, gadis itu duduk dan bercengkerama dengan beberapa kawannya. Maksum terpana pada tingkah gadis itu. Pada tutur dan santun gadis itu. Maka kala pulang ia menawarkan diri mengantar perempuan itu. Senang bukan buatan hatinya ketika diterima ajakannya. Gemuruh jiwanya.
Berhari-hari setelah itu ia mulai merindu. Dibuatkan berpuluh-puluh puisi untuk gadis bernama Marsha itu. Sayang sekali, puisinya tak dimuat oleh media, sebab itu tentang cinta. Maka ia berhenti menulisnya, berhenti mengirimkannya. Lalu ia mengirimi Pengko satu surat, tepat di hari Pengko menerima surat kaleng dari jurusannya dan saat Pengko sedang membaca surat kabar tentang kebangkrutan kampungnya. Isi surat Maksum adalah tentang rindu. Pengko terharu. Ia hendak menghibur kawan dekatnya. Ia membalas surat itu sembari sedikit bercerita tentang nasibnya.
Pengko berkisah tentang kegalauannya pada kampung halamannya. Kabar besar sekarang adalah kebangkrutan yang melanda kampung itu. Jika dipikir-pikir secara logika, yang salah tentu saja yang mengendalikan uang kampungnya. Ah, jika benar itu terjadi, tentu kampungnya akan dileburkan kembali. Dasar, pemimpin. Siapa lagi yang bisa dipercayai memegang tampuk kuasa di kampungnya itu. Kampung pesisir yang kikir dan bisa-bisa: tahu-tahu, bangkrut. Aneh sekali. Kuat firasatnya uang itu habis hanya untuk mengganti harga nyawa orang kampungnya yang meninggal dunia, bukan karena korupsi saja. Artinya, korupsi itu bisa jadi ada. Hahhahaha…
Dituliskan di akhir suratnya satu kalimat yang mungkin saja akan mengusik ketenangan hati kawannya. Tapi ia mengira bahwa itu adalah kalimat penting curahan hatinya. Ia hanya menghibur Maksum dua tiga paragraf dalam surat yang direncanakan bersampul biru muda itu. Selebihnya ia begitu antusias menceritakan tentang kampungnya yang jauh.
“Maksum, telah kubaca banyak surat dalam minggu ini. Maka kubalas sekalian saja padamu. Kukabarkan padamu, kawan. Kerisauanmu pada gadis itu sama sekali tak sebanding dengan kerisauanku pada bangkrutnya kampungku. Maka kukira perihal gadis itu: perihal cinta, media tak dulu memuatnya. Tapi tentang bangkrutnya kampungku, itulah yang akan muncul lebih dulu. Adakah kau baca Koran-koran terbaru? Semua headlinenya mengenai kampungku yang akan digulung sebab pemimpin kami sedikit lugu. Sudahlah Maksum, tabahkan dirimu. Salam tabah dari Pengko, sahabatmu.”[]