SALAM tuan. Lama sudah kita tak bersua ketika anda menyeruput kopi di pagi hari. Bagaimana timphan asoe kaya kita, sudahkah berubah rasanya? Ah, semoga tidak tuan. Meskipun banyak perbedaan yang telah kita temukan di penghujung jaman ini.
Setelah lama bertapa tuan, niscaya diri yang ternoda ini mendengar kabar terbaru dari perbincangan orang di beberapa sudut warung kopi kita ini. Aku mendengar adanya salek buta yang kini menjangkiti orang-orang kita di seantero negeri. Dulu, dulu sekali kisah salek buta ini pernah dibasmi oleh para ulama kita. Sayangnya, era globalisasi dan modernisasi sekarang, salek buta itu berkembang lagi.Tak terbayangkan tuan. Seuramoe Meukkah kita telah disusupi salek buta yang tak bertumpu lagi pada hadis nabi dan Al Quran yang suci. Kenapa bisa itu terjadi tuan? Karena kita sama sekali telah terjerat pada penyakit ”cinta dunia dan takut akhirat”, barangkali, seperti yang dikatakan oleh dai-dai kondang tempoe doeloe, ketika aku mendengar dakwah dalam kenduri maulid nabi.
Sedikit ku kisahkan tuan, mengenai salek buta tempoe doeloe yang dihajar habis-habisan oleh ulama-ulama Aceh yang gagah perkasa. Kala itu, ada muslim yang mengaku-ngaku bahwa ada nabi selain nabi Muhammad SAW. Pengakuan ini tentu saja membuat para ulama menjadi berang. Tepat sebelum kita merdeka, saat para imperialis menjajah nusantara. Ulama berperang. Benar-benar perang jihad menegakkan agama Allah, tuan.
Salek buta itu, kemudian berkembang lagi setelah Indonesia Merdeka. Lagi-lagi Aceh disusupi dengan dusta-dusta agama yang membuat PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) dan ulama dayah terkemuka, mengusir para dzalim dan pendusta itu dari tanoh rencong untuk ke sekian kalinya.
Sekarang tuan, miris bila kita membicarakan masalah pendustaan agama. Karena pada hakikatnya kita akan dituduh melanggar hak asasi seorang manusia dalam berserikat dan menganut kepercayaan agamanya masing-masing. Alhasil, jika ingin menegakkan ajaran agama, kita akan berhadapan dengan hukum dunia yang tak punya mata.
Apalagi jika kita berhadapan dengan ”Salek-salek buta” yang menghisap darah rakyat. Mereka punya kekuasaan dan uang. Punya pasukan dan mata pedang yang begitu tajam. Tapi, tajam nya seperti mata pisau. Tajam ke bawah, tumpul ke atas. Pusing diriku tuan. Betul-betul pusing setelah termegap-megap mendengar kabar usai bertapa di tanah paling ujung pulau sumatera ini.
Salek buta di tempat kita saat ini, tidak hanya mengajarkan ada nya nabi selain baginda Rasulullah Muhammad SAW, tapi juga melegalkan agama untuk mencapai tujuan keserakahan politik dari kaumnya. Jika kita ingin menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar dengan mengambil langkah memerangi para salek buta ini, kita akan mendapat lakap sebagai teroris tuan. Nah, jika sudah seperti ini, para penegak hukum akan mendatangi tuan-tuan dan menghadiahi gari di tangan tuan.
Tuan kemudian akan dihukum. Disaksikan oleh berpasang mata baik yang se iman dan se agama maupun orang yang di luar kepercayaan kita. Apalagi salek buta yang tuan ingin perangi itu adalah penghisap darah rakyat kita. Salek buta yang menggelembungkan kantong pribadi lalu berleha-leha ke luar negeri. Bahkan, salek buta itu siap menghabisi kita, kalau hari ini kita mengkritisi kebijakannya.
Maka dari itu tuan, mari lah kita menghabiskan kopi panas kita saja. Alangkah nikmatnya melahap timphan asoe kaya daripada kita membicarakan salek buta yang kini lebih hangat dari pada kopi dan timphan kita. Bukankah Aceh sudah mempunyai WH (Wilayatul Hisbah), sebuah kesatuan hukum dari institusi agama yang bisa mengurus salek buta? Baik salek buta yang mendustakan agama, salek buta yang mencuri uang rakyat atau salek buta yang menjual dayah untuk tujuan politisnya. Jadi, biarkan saja mereka bekerja tuan. Karena pekerjaan mereka tidak hanya mengurusi khamar, judi dan khalwat belaka.[]