Dalam sepucuk suratmu yang kau kirim padaku seperempat abad yang lalu, kau menulis, “Kawan, dunia telah mengaduk kehidupan dalam sebuah blender waktu sehingga segala zaman nyaris tak dapat diidentifikasi jika peristiwa-peristiwa dalam kehidupan pribadi, keluarga, komunitas, kaum, suku dan bangsa baik dalam konteks sektoral, wilayah, daerah atau global tidak dicatat.”
Demikian isi alinea pertama suratmu yang telah dirampas aparat pemerintah dari tanganku atas nama benda bersejarah dan lalu disimpan di museum negara yang sangat jarang dikunjungi anak negeri.
“Catatan adalah sebuah penandaan yang bercerita,” sambungmu di alinea kedua. Dan itu bisa melalui tulisan di kertas, buku atau ukiran di batu, juga bisa berupa produk seni dan kebudayaan yang berwujud material seperti karya pahatan, bangunan tinggal atau rumah publik dan alat-alat yang digunakan untuk memudahkan kehidupan sehari-hari serta lain sebagainya.
Dunia telah mengaduk kehidupan dalam sebuah molen masa sehingga usia semesta nyaris tak dapat dihitung jika tak ada catatan atau produk material budaya semasa sebagai bukti untuk menentukan angka-angka buat tahun zaman dan era waktu atau untuk kepentingan referensi lainnya.
Dari pembagian perjalanan ketatkalaan, di situ manusia membaca estafet perubahan dan warna perkembangan untuk disarikan dalam sebuah inovasi melalui pergumulan olah pikir terkini. Orang bijak bilang, sejarah bukan untuk dihafal, tapi untuk diinterpretasi agar hakikat-hakikat tersembunyi bisa tergali.
Demikian isi alinea keempat suratmu yang telah dirampok aparat pemerintah dari tanganku atas nama benda bersejarah dan lalu disimpan di musium negara yang sangat jarang dikunjungi anak negeri.
“Intinya,” sambungmu di alinea kelima, manusia belajar dari masa lalu. Aceh yang penuh semangat penghargaan atas hak-hak privaci dan azasi orang lain pada hari ini, adalah Aceh yang belajar dari sejarah penistaan hak-hak privaci dan azasi oleh kegairahan kolonialisme bangsa lain dari zaman ke zaman.
“Tahukah kau, teman,” lanjut suratmu padaku, peperangan timbul karena kelemahan satu pihak. Tak ada perang bagi dua kekuatan yang seimbang. Dalam perseteruan nilai-nilai kompetisi yang sama kuat, maka di situ hanya ada kolaborasi atau koalisi.
Ingin juga kukatakan padamu, seandainya pada abad delapan belas Aceh masih sewibawa abad enam belas, jangankan datang untuk memerangi, bermimpi untuk injak kaki pun Belanda takkan berani di tanah Indatu.
Demikian selanjutnya isi suratmu yang telah dirampas aparat pemerintah dari tangaku atas nama benda bersejarah dan lalu disimpan di musium negara yang sangat jarang dikunjungi anak negeri.
“Kenapa saat itu mereka berani memerangi Aceh? Itu karena mereka tahu kita akan kalah. Dan prediksi itu memang benar meski dengan biaya perang yang nyaris membangkrutkan Nederland sekalipun. Sudah menjadi langgam kebiasaan dalam dunia perseteruan manusia, bahwa perang selalu dimenangkan oleh perancangnya.
Hendaknya Aceh hari ini dan ke depan adalah bukan lagi Aceh yang lemah. Untuk menghindari perang, Aceh harus kuat; dalam segala lini. Dan kekuatan yang paling utama adalah berangkat dari penyatuan. Dan penyatuan hanya akan ada dalam sebuah bangsa di mana setiap komunitas dan individu saling menghargai komunitas dan individu lainnya setinggi penghargaan atas diri sendiri.
Dan semua bentuk penyatuan serta kesatuan adalah berangkat dari semangat penghargaan kita akan hak-hak orang lain. Jangan melanggar amanah jika kau dipercaya untuk memegang kendali kepentingan dan kemaslahatan orang ramai. Jika kau berkhianat, namamu akan dicatat sebagai pengkhianat dan keluargamu beserta sepanjang keturunannya yang ikut menikmati hasil pengkhianatanmu, sampai kapan pun tak akan mampu menghapus status pengkhianat pada namamu sepanjang sejarah.”
Demikian isi alinea terakhir suratmu yang telah dirampas aparat pemerintah dari tanganku atas nama benda bersejarah dan lalu disimpan di museum negara yang sangat jarang dikunjungi anak negeri.[]