“Saat disergap muatan kecerdasan atau ditimpa problema kehidupan melebihi kemampuan jiwa untuk menanggung, maka manusia akan gila sebagai jalan keluar dari penderitaan,” kata Lem kepada sejumlah tiang di balai-balai beuleukoh dekat jalan aspal pinggir kampung.
“Jadi,” sambung Lem sembari bersandar pada salah satu tiang, “jadi gila adalah kemampuan psikhologis manusia dalam menciptakan keseimbangan batin secara otomatis untuk bertahan hidup, survive. Jadi, gila adalah suatu kondisi kejiwaan yang ideal.”
“Peu ka peugah Leeeeeem,” teriak Do dari salah satu jarak di jalan tepian beuleukoh itu. Tapi Lem tidak peduli, terusik pun tidak. Teriakan Do seperti angin lalu. Tapi Do juga tak ambil pusing, pekikannya didengar orang atau tidak, dia tak mau tahu. Yang penting dia enjoy bisa mengatakan sesuatu dengan lepas.
Dan seperti seakan-seakan tak ada usikan apa pun yang baru saja terjadi, Lem yang masih sendirian di atas balai-balai terus melanjutkan uraiannya pada tiang-tiang balai yang dianggap Lem sebagai pendengarnya yang budiman.
“Di luar kasus geger otak,” lanjut Lem, “yaitu baik geger otak akibat benturan/hantaman di wilayah kepala atau lainnya, maka hingga saat ini ketinggian ilmu pengetahuan di bidang kejiwaan belum pernah menemukan orang yang benar-benar gila dalam arti kata yang sesungguhnya.”
“Brat tahat keceumeucang lagoe Leeeeeeem,” usik Do sambil berjalan terus pelan-pelan melewati beuleukoh. Dan seperti angin lalu Lem terus melanjutkan argumentasinya.
“Jadi,” lanjut Lem, “siapakah mereka yang sekarang menghuni kamar dan sel-sel di rumah sakit jiwa? Tanpa menjawab terlebihdahulu pertanyaan tersebut, saya ingin mengatakan…”
“That brat kacang panah lagoe Leeeeeeem,” teriak Do yang nakal seraya berlalu di jalan samping beuleukoh. Do dan Lem kawan sekampung dan akrab sejak kecil. Ketika remaja mereka mengalami suatu problema kejiwaan akibat konflik bersenjata yang melanda negeri mereka. Beberapa bulan lalu mereka baru saja dibawapulang dari rumah sakit jiwa di ibukota provinsi karena dinilai sudah mampu mengurus diri sendiri.
“Di sini saya cuma ingin mengatakan,” lanjut Lem setelah sedikit merasa terganggu oleh teriakan Do tadi, “saya cuma ingin mengatakan, bila orang yang tengah dalam kondisi kejiwaan yang jamak disebut gila itu dipaksakan untuk kembali dalam kondisi kejiwaannya semula, maka orang itu akan mati tiba-tiba karena didera muatan kecerdasan atau problema kehidupan yang tak tertahankan.”
“Jadi,” pungkas Lem selangkah sebelum balai-balai itu ia tinggalkan, “menjadi gila adalah penting agar kita tetap survive, ha-ha-ha..!”■