APA Maun mengingatkan anaknya agar tidak bermain jauh-jauh dari rumah. Sebab, kini lagi gencar isu terorissasi. Anak Apa Maun yang baru kelas lima SD begitu ketakutan mendengar tembak-tembakan di kampung tetangga, kebetulan hari itu ia bermain ke rumah temannya di kampung itu.
“Pak, kampung kita perang lagi, ya?” tanya Basyah, anak Apa Maun.
“Bukan, itu dikabarkan pembasmian teroris oleh pengaman negeri.”
“Tapi, itu kan sama dengan perang-perangan lima tahun lalu?” tutur Basyah lagi.
“Tidak sama, ini teroris, kalau dulu, bukan,” kata Apa Maun
“Kalau dulu apa namanya?” tanya Basyah.
“O, dulu namanya kelompok penuntut kedaulatan Aceh.”
“Kini teroris ya? Hmm, teroris itu seperti apa ya ayah?” tanya Basyah.
“Menakutkan, mengerikan,” kata Apa Maun.
“Seperti apa menakutkannya?”
“Seperti menakutkan, pokoknya menakutkan, begitulah dikabarkan,” kata Apa Maun.
“Hmm, menakutkan, pasti seperti maop,” kata Basyah, yang telah tahu benar bagaimana ia harus bersikap tentang sosok maop yang tak pernah ia lihat wujudnya tapi dimitosi begitu menakutkan. Maka, Basyah menyimpulkan bahwa kini ada satu sosok lagi yang menakutkan tapi tidak terlihat wujudnya, yakni teroris, barang impor yang dalam bahasa Aceh mungkin dapat diartikan sebagai tukang kacho, baik itu kacho ie atau kacho gampong.
Esoknya, Basyah masuk sekolah. Basyah masih penasaran pada sosok teroris yang disebutkan Apa Maun. Begitu bu gurunya masuk kelas, ia langsung bertanya.
“Bu, teroris itu apa ya?” tanya Basyah.
“Teroris adalah sebuah benda yang lembut seperti kapas dalam kasur, nyaman bila disentuh,” kata Bu Guru.
“Tapi kata ayahku teroris itu menakutkan, bu guru!” Basyah tidak percaya.
“O, itu bukan teroris, tapi itu terong Belanda,” kata Bu Guru.
“Bu, terong Belanda tidak menakutkan, ibuku sering membuat jus dengannya, ibu guru jangan bohongi aku, aku tidak percaya,” kata Basyah.
“Ya, bu guru memang bohong, dan mengakuinya, tapi para pembohong pembuat isu tidak mengakuinya dan membuat masyarakat seperti ayahmu percaya pada kebohongan mereka,” kata Bu Guru.
“Berarti Bu Guru jujur ya?” tanya Basyah.
“Ya, saya adalah guru yang jujur,” jawab Bu Guru berbadan kurus seraya menuju papan tulis, lalu perempuan muda itu menulis di papan tulis hitam dengan kapur merah; Terorisasi. Bu Guru lalu berpidato sejenak.
“Anak-anak, aku tahu kalian seharusnya kuajarkan tentang moral dan kasih sayang, namun pembuat isu tidak menginginkan itu, rencanaku tadi tidak mengatakan ini pada kalian, tapi jika tidak kukatakan, kutakuti kalian salah paham nantinya tentang ini, tentang teroris,” kata Bu Guru dengan nada berduka karena kampungnya telah dikacaukan oelh orang-orang yang tidak jelas.
“Bu apa itu teroris?” tanya Basyariah, keponakan si Basyah.
“Teroris itu seperti kupu-kupu cantik yang menemanimu di taman bunga di bukit perbatasan kampung kita,” jawab Basyah, tanpa diminta.
“Benar, apa saja bisa diartikan dari kata teroris, karena terorisasi (penterorisan untuk sebuah objek tertentu yang ingin diklaim sebagai teroris) sah untuk segala hal. Istilah teroris itu tidak penting untuk kita karena berasal dari bahasa asing dan dimulai di negara asing. Kita orang timur tidak mengenal teroris,” kata Bu Guru.
“Benar Bu, saya hanya mengenal nama maop, itu pun tidak pernah berjumpa dengannya,” tanda Basyariah.[]