Mengapa Anda tenang-tenang saja mendengar “tawar-menawar” Jaksa Urip dengan Artalyta?”. “Lho, Anda juga tenang-tenang saja kan?” jawab rekan saya. “Memangnya kenapa?” tanyanya lagi, dengan ekspresi biasa yang semakin menggemaskan.
Apakah ia tidak kagum dengan kasus korupsi yang ditangani KPK, yang melibatkan pejabat tinggi Kejaksaan Agung, penegak hukum tinggi di negeri ini? “Ah, biasa aja tuh. Tawar-menawar seperti itu kan biasa. Mau masuk sekolah, mau bebas ini itu, mau kurang ini itu, mesti tawar-menawar. Itulah cermin ‘adat ketimuran’ kita,” tambahnya agak menyindir. Kalau keberhasilan menyadap yang luar biasa dan mencengangkan yang dibuat KPK?
“Kita tunggu saja, berapa dana yang dihabiskan dan dana yang berhasil dikembalikan kepada negara, seimbang nggak?” katanya.
Tidak ada ungkapan terkejut, seolah korupsi kelas miliaran sudah biasa. Tidak hanya pada teman saya, hampir semua yang saya temui bersikap sama. Betapa apatisnya masyarakat pada hukum. Bila semua rakyat begitu, bagaimana negeri yang berdasarkan hukum ini masih bisa berjalan? “Tambahlah dikit..ya..?”..”Kan..udah..enam kan? ha..ha,” begitu bukti rekaman Jaksa Urip dengan Pengusaha Artalyta melakukan transaksi dengan angka pokok enam miliar agar kasus BLBI-nya dipetieskan. Terasa aura ada “malu-malu”nya “Jaksa Urip”, atau agak tertekannya “Artalyta”. Mencengangkan!
Tidak terbayangkan, sang tersangka masih bisa mendengarkan “perselingkuhan” merugikan negara itu dengan tenang. Seolah tidak ada kejadian luarbiasa. Bahkan, kalau di Jepang mungkin sang tersangka sudah bunuh diri. “Baru negeri ini lebih gampang dibenahi, bila tanggungjawab moral da rasa malu jauh lebih tinggi dari materi,” ujarnya. Begitu juga banyak “koruptor” lain, bahkan keluarganya, istrinya, anaknya, yang selalu membela seolah ujung tombak keluarganya itu benar benar tidak bersalah.
“Yang benar akan kelihatan benarnya,” ujar Hetty Kus Endang yakin, saat ke luar dari mobil Alphardnya yang berharga hampir semilyar rupiah. Saat itu ia baru menjenguk sang suami yang ditahan dalam kasus korupsi.
Enam miliar rupiah bak tawar-menawar lima puluh dengan seratus ribu, tidak miriskah anda?
“Nggak, biasa aja. Saya kira begitulah wajah hukum dan moralitas kita saat ini,” tandasnya. Maklum seorang pejabat tinggi, tentu enam milyar menjadi wajar, katanya. Semacam tawar menawar antara calon pejabat politik dengan partai politik. “Anda pikir, siapa calon pemimpin yang maju tahun 2009 nanti? Siapa mereka? KPK? Ah..itu mirip cerita kucing di desa tikus, lama lama juga kucingnya mati dikeroyok tikus, atau jadi males karena bosan kebanyakan makan tikus, kalau tidak kucingnya malah berteman dengan para tikus..” ujarnya bersu’uzan.
Ah, bila tanpa kepercayaan seperti itu, bagaimana penegakan hukum di negeri ini bisa dimulai dengan benar? Mengerikan!
Kita berharap KPK bisa “bertahan”. Di tengah apatisme rakyat saat ini. Jangan-jangan “para tikus” itu semakin mati rasa dan terus mengeruk hasil “panen kita”. Atau jangan-jangan sikap apatisme sebagai bagian dari “pemaafan” atas dirinya sendiri, yang telah ikut-ikutan melanggar hukum dan memelihara tikus dalam hatinya. Apatisme rakyat yang sangat menakutkan. Namun, mulai pemimpin hingga rakyat menganggap hal itu biasa saja, bukan sebuah soal besar. “Bila semua tikus ini ditangkap, dari besar hingga kecil, apa Anda kira penjara di negeri kita sanggup menampungnya? Belum lagi percayakah Anda yang menangkap tikus itu kucing, jangan-jangan …” tandas rekan saya lagi berandai andai, tapi masuk akal juga.
Kalau begitu, ayo tawar-menawar, siapa yang menjadi tikus dan siapa yang menjadi kucing. Kita bagian dari semua itu, kucing di sarang tikus, tikus di sarang tikus. Ada raja tikus, ada banyak tikus, besar-besar dan kecil-kecil. Nikmatilah..![]