HARI telah senja ketika Wak Lah baru saja selesai memotong rumput untuk sapi-sapinya. Rumahnya agak jauh dari tempat ia memotong rumput itu. Azan menggema. Wak Lah memutuskan untuk beristirahat sejenak di gubuk terdekat. Tapi yang dekat hanyalah gubuk tempat Pengko, pemuda gila sebab di-DO, dipasung.
Ya, daripada-daripada, diputuskanlah bahwa ia akan sejenak singgah di sana. Wak Lah tanpa sungkan-sungkan meletakkan karung rumputnya di depan gubuk Pengko. Seakan gubuk itu adalah rumahnya. Pengko yang sedang khusyuk mendengarkan azan sedikit melongo ke arah lelaki beruban di depannya. Setelah azan usai barulah Pengko bertanya gerangan apa yang membuat Wak Lah singgah di tempatnya.
Wak Lah tahu betul tentang kisah hidup Pengko. Bagaimana tidak, sejak kecil Wak Lah sudah mengenal Pengko. Dulu juga rumah mereka berdekatan. Sebab kedekatan dan ketahuan itulah Wak Lah dengan cakap bisa menjawab tanyaan Pengko.
Pengko itu seorang yang puitis. Tiap hari sibuk berpuisi di gubuknya. Dan Wak Lah juga tak jauh beda dengan pemuda di pasungan itu. Begitu Pengko bertanya, “apatah yang membuat Wak Lah rela bersinggah di gubuk nista ini?” Maka Wak Lah menjawab, “seharusnya aku yang bertanya, apatah pantas aku yang hina bersinggah di gubuk penuh syair-syair indah ini?”
Pengko suka dengan balasan pertanyaan Wak Lah, begitu juga sebaliknya. Dan mereka mulai berbalas kata. Saling memuji satu dan lainnya. Wak Lah serasa mendapatkan kawan yang tepat, Pengko begitu juga.
“Orang kampung kita terlalu ramai yang bodoh, Waklah,” kata Pengko. Wak Lah membenarkannya dan menambah, “itu disebabkan pemimpin kita banyak yang lulus es-em-pe.”
Mereka tertawa terbahak-bahak. Entah sebab apa Wak Lah merasa bahwa Pengko itu waras. Maka ia betah sekali berlama-lama di gubuk itu dan melupakan sapi-sapinya yang belum makan hampir sehari penuh.
“Itulah Wak Lah, aku telah mengatakannya pada pak Geuchik beberapa malam lalu, tapi beliau tak mau mengaku,” kata Pengko. Dan Wak Lah membela Pengko, “mana mau dia mengaku, toh dia juga begitu.”
Mereka tertawa lagi. Begitu keras. Pengko berujar lagi, “lulus es-em-pe saja sudah pandai menipu warga, apalagi lulus sarjana.” Kembali mereka terbahak.
Tiba-tiba Wak Lah terlihat linglung. Ia mencari-cari sesuatu. Ketika ditanya, rupanya Wak Lah sedang mencari rokok. Pengko kemudian menawarkan puntungan rokok sisa dihisapnya tadi siang. Wak Lah dengan senang hati menerimanya. Pengko menyulut puntungan rokok itu, dua kali hisap kemudian diberikannya pada Wak Lah. Dengan bahagia Wak Lah menghisapnya. Lalu mereka kembali bercerita.
Kata Wak Lah, “di warung kopi aku sering membaca koran dan kabar terbaru adalah adanya pengemis yang tidur di hotel.”
Pengko begitu kuat tertawa. “Itulah kita Wak Lah, selalu mudah dibohongi, siapa saja bisa membohongi kita, dari pengemis hingga politikus,” sahut Pengko.
Wak Lah tak putus-putus tergelak. Sepuntung rokok habis, disulutnya puntungan lain. Hingga malam benar-benar telah hitam dan Wak Lah teringat janjinya pada beberapa kawan sebayanya yang rata-rata juga telah beruban. “Omak, Pengko, aku ada janji malam ini akan bertemu si Toke dan Apa Areh di warkop Penagihan Mimpi,” kata Wak Lah sembari berdiri dan membenarkan kain pinggangnya.
“Itu tentu masalah nomor, kan, Wak Lah?” tanya Pengko. “Itu masa lalu yang telah menjadi puing kenangan untuk hidupku, Pengko,” sahut Wak Lah membela diri.
“Baiklah Wak Lah, sampaikan salamku pada Geuchik, itu beras warga dibagi terus, jangan tunggu berjamur,” kata Pengko.
“Besok malam kubawakan kopi kemari, kita duduk sampai pagi, Pengko,” sahut Wak Lah. Dengan nada bercanda kemudian ia tertawa terbahak-bahak. Pengko menjawab, “sudah bertahun-tahun aku duduk di sini, Wak Lah, cuma aku tidak cerita-cerita sama orang, karena aku bukan pemimpin besar.”[]