Kuah Tuhee

ALKISAH, kala Pengko masih kuliah. Kala itu sebenarnya prodi-prodi lain merayakan maulid sudah jauh-jauh hari selesai. Tapi di prodi Hitukulbasin, tempat Pengko kuliah, acara mulia itu baru akan dilaksanakan beberapa hari ke depan. Pengko tak dapat kabar tentang kepastian hari H. Namun ia kebetulan berkesempatan datang pada rapat evaluasi acara itu.

Sebagai seorang yang menyukai hal-hal yang bersifat memegahkan Hitukulbasin, Pengko dalam acara itu mengusulkan agar pihak panitia pelaksana maulid setidaknya menyediakan nasi bagi para peserta dan undangan atau jenis makanan tambahan lainnya yang mampu menggugah selera. Jangan hanya dengan Kuah Tuhee dan sebotol kecil air mineral yang bisa-bisa membuat kembung para pemakannya. Dan ia mengusulkan ada sesuatu hal yang lain dalam acara itu yang kemudian bisa membuat warga Hitukulbasin senang bila menghadirinya dan menyesal bila tiada.

Rapat yang dimotori oleh Ketua Hitukulbasin dan Sekep-nya itu diikuti oleh beberapa perwakilan dari tiga angkatan. Dengan takzim Pengko mengikuti rapat itu. Baru ia bersuara saat telah diminta oleh ketua yang merangkap sebagai MC rapat. Mendengar usulan Pengko, rupanya Sekep Hitukulbasin menjadi bingung. Apalagi acara itu dilaksanakan dengan dana yang sedikit. Sebenarnya warga punya cara untuk memuluskan usulan tersebut. Telah pun mereka melaksanakan cara itu beberapa hari sebelum rapat berlangsung. Namun Ketua Prodi Hitukulbasin dan Sekep-nya pula telah tidak menyetujui cara itu.

Padahal, pihak warga telah berhasil mengumpulkan dana pada beberapa angkatan. Dan dana itulah yang kemudian akan mereka gunakan untuk membeli nasi pada hari H untuk peserta. Tapi berhubung pihak prodi sudah memakzulkan kegiatan yang demikian, maka mereka bersepakat untuk mengambil kebijakan yang sebenarnya menurut Pengko sangat tidak bijak, mengembalikan uang sumbangan ikhlas pada yang telah memberikan. Pengko berkeras agar pengutipan dana terus dilakukan dan yang sudah terkumpul usah dikembalikan. Ketua warga sedikit setuju dan agak diam. Sekep malah terlihat agak ketakutan.

Menanggapi Pengko, Sekep berujar bahwa jika ia dan Ketua Warga Hitukulbasin tetap menjalankan cara itu, maka kemungkinan besar jika pihak jurusan tahu, maka mereka berdua akan tertahan nilainya pada dua petua prodi Hitukulbasin tersebut. Ia takut sekali dengan rusaknya pertalian baik antara mereka dengan para dosen itu. Dan ia bersikeras akan memulangkan sumbangan sesuai yang telah dititahkan.

Pengko geram tak alang kepalang. Ia kemudian menghardik lelaki di depannya itu dengan kata-kata yang bermakna kasar. Terkadang kita terlalu takut melawan pada kekangan, padahal kedekatan dengan dosen hanya berarti sedikit bagi perkuliahan, selebihnya adalah isi kepala, begitu kata Pengko. Dengan geram ia melanjutkan, sebenarnya kita bisa saja membantah sikap dosen apabila memberikan nilai yang buruk atau dengan sengaja memperlambat kuliah mahasiswa, dengan catatan kita bisa mempertanggung jawabkan apa-apa saja ilmu yang ia berikan.

Lelaki itu gelagapan. Pengko petang itu sendiri mengikuti rapat dan berpendapat. Tak ada Anjali, kawan sejalan pikirnya, yang ada hanya Martina yang diam saja. Segenap yang datang menatapnya antara membenarkan kata-kata Pengko dan ketakutan melawan kebijakan dosen yang kadang-kadang memundurkan kreativitas. Dan dalam rapat yang singkat itu, segenap perwakilan memang lebih memilih membela Sekep si CS dosen daripada membela Pengko si keras kepala. Tentu saja alasan mereka sama, takut nanti dosen marah dan nilai mereka bermasalah. Maka Pengko kemudian menulis sebuah selebaran yang isinya, Hadiri Maulid Hitukulbasin dengan hidangan nikmat, Kuah Tuhee, diiringi dengan pidato-pidato singkat dosen-dosen yang dihormati karena ketakutan, pembacaan ayat suci Al Quran, dan alunan Shalawat Badar sumbang bukan buatan. Selamat menyaksikan.[]

One thought on “Kuah Tuhee

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.