Baju Lama

Puasa boleh tidak, baju baru harus ada. Tarawih boleh tidak, baju baru harus ada. Demikian Si Him berceloteh begitu tahu bahwa sebagian kecil orang Aceh di bulan Ramadhan seperti itu: yang puasa dan tarawih boleh tidak, tapi baju baru untuk dikenakan saat Idul Fitri harus ada.

Si Him tidak sedang bercanda. Dari tahun ke tahun hingga usianya dua puluhan tahun, telah dirasakannya bahwa ada keanehan dalam diri sebagian kecil masyarakat Aceh. Mereka itu semampu mungkin berbelanja pakaian baru untuk menyambut—barangkali memeriahkan, memamerkan, atau bek tan sagai di—hari kemenangan.

Padahal mestinya hari kemenangan untuk orang-orang yang tak pernah meninggalkan puasa atau dan tarawih plus witir selama Ramadhan; orang-orang yang tak berhalangan untuk menjalankan rukun islam ketiga itu.

“Seharusnya ada hari kekalahan bagi orang-orang yang kalah dalam menunaikan puasa atau salat sunat yang hanya ada di bulan puasa: tarawih,” kata Si Him.

“Tapi tak mungkin juga, sebab Tuhan Maha Adil. Ia akan memperlihatkan akibat dari perbuatan hamba-Nya di hari akhirat,” katanya seraya melihat-lihat baju usangnya dalam lemari.

“Kembali ke baju baru,” kata dia lagi, “memiliki baju (pakaian) baru untuk merayakan Idul Fitri maupun Adha sudah menjadi budaya bagi masyarakat, terutama Aceh. Orangtua akan berutang pada oranglain jika tak ada uang membelinya kepada anak-anaknya; rela tiada untuk dirinya.”

Nah, kata Si Him, dalam momen seperti itu, sebagian pedagang pakaian jadi memanfaatkannya mencari laba besar. Makin dekat lebaran makin dinaikkan harganya. Meski ada sebagian toko-toko yang memberi diskon atau memberi label antimahal, namun harganya tetap “mencekik” juga.

Antimahal hanyalah bahasa komunikasi bisnis saja. Tiada pengusaha toko yang gila diri jual murah saat-saat seperti itu. Mereka pasti sudah pikir-pikir dengan matang sebelum menentukan harga pas ke pasaran.

Lalu, usia segala usia kemudian memburu pasar, mendapatkan pakaian baru yang sesuai seleranya, apakah itu baju, celana, peci, sandal, sajadah, jilbab, sarung, dan aksesoris yang berbau hari raya lainnya.

“Semua orang dengan selera masing-masing akan berusaha mendapatkannya hingga takbir malam pertama lebaran dengan uang hasil banting tulang yang ketika setelah membeli pakaian baru bagai arang sudah jadi abu atau nasi sudah jadi bubur; lebih-lebih jika ia kecewa telah memilih pakaian itu tanpa mencobanya terlebih dahulu dan berjanji bisa menukarnya jika tak pas,” kata Si Him, masih melihat-lihat baju lamanya dalam lemari.

“Ketika orang-orang sudah mendapatkan baju baru, maka sudah sah menyambut lebaran, kasihan bagi yang tak sanggup membelinya. Lalu berhari raya, bermaafan, dan..,” Si Him sejenak berhenti mengutak-atik pakaian dalam lemari, “sekarang saya harus mengambil baju lama saya yang akan jarang sekali saya pakai untuk saya sumbang ke panti asuhan. Setelah itu, baru saya beli baju baru. Dan, saya akan bahagia berhari raya meskipun nanti tak ada pakaian baru.”

Begitu mendapati sekitar sepuluhan pasang baju usangnya, ia membungkusnya lalu mengantarkan ke sebuah panti asuhan di Banda Aceh. Dalam perjalanan ia berkata pada kaca spion motornya, “andai semua orang Aceh, terutama yang tak punya adik, mau menyumbang pakaian lamanya yang tak dipakai lagi ke panti asuhan atau anak yatim, tentu anak-anak yang tak mampu beli pakaian baru pasti merasakan memakai yang baru. Ya, setidaknya baru dikenakannya meskipun telah digunakan oranglain. Buka saja poskonya. Andai saja,” kata Si Him.

Pun begitu, “sebagain orang Aceh juga tergolong ‘kreatif’ memanfaatkan pakaian usang, yakni bukan mendaur ulang, tapi menjadikannya sebagai kain lap kendaraan dan tangan serta kaki, sebagai alas bagi tempat tidur binatang piaraan atau ternak, dan sebagainya,” kata Si Him.[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.