Alkhamdulillah

Pada dasarnya, ini cerita lebih ingin membahas tentang bagaimana sebuah dialek bahkan mampu mengubah kata atau suku kata tertentu hingga yang menjurus pada pengucapan kata yang berbau religius sekalipun. Semisal menyebut “Allah” yang dalam dialek Jawa malah terdengar “Alloh”, “Potallah” diucap “Potalah”, “Bismillah” di Aceh diucap “Biseumillah”, dan—untuk sementara sampai di sini bahasannya—“Alhamdulillah” oleh sebagian orang Aceh Rayeuk menyebutnya dengan “Alkhamdulillah/alqamdulillah”.

Ide cerita ini bermula dari Wak Lah yang bertanah lahir di Aceh Rayeuk dan kemudian merantau demi membuang galau ke Aceh Paki-Paki II. Kebiasaan Wak Lah mengucap Alkhamdulillah ini kemudian diikuti oleh banyak pemuda di kecamatan Jari-Jari, lebih khususnya di kampung Kuta Ganteng. Maka ucapan Alkhamdulillah ini telah menjadi ucapan populer dalam pergaulan anak muda di sana. Inilah satu-satunya karya terbesar yang pantas dibanggakan Wak Lah selama hidupnya. Selebihnya tak ada.

Pada tidak dasarnya, ini cerita ingin memberitahukan kabar lebih lanjut tentang Pemira Himatukulbasin yang Pengko menjadi calon ketua warga di sana. Dalam Pemira Himatukulbasin kemarin terjadi ketegangan yang sangat dahsyat. Sejak awal pemilihan hingga usai penghitungan suara suasana tegang saja. Kedua kandidat terlihat tidak bisa menyembunyikan ketegangannya. Pengko dan—siapa ya nama adek saingan Pengko itu, lupa pula kami—duduk berdampingan di kursi kandidat dengan diam dan sesekali saja saling senyum.  Anggota KPR terlihat sangat sibuk dengan para pemilih yang terkadang tak tahu aturan. Begitulah, kebiasaan berebut menjadi yang lebih awal padahal datang lebih terlambat terus membudaya di negeri ini.

Pada antara dasar dan tidak dasarnya, Pengko terkejut saat bertemu Wak Lah di halaman kampusnya. Lelaki tua itu sudah duduk di depan sebuah ruang tak jauh dari tempat mereka memilih. Lebih terkejutnya lagi rupanya Wak Lah membawa saudara dekatnya yang terkenal sebagai dukun kampung di seantero kecamatan Jari-Jari, Aceh Paki-Paki II. Lelaki bertengkuluk itu tak putus-putus menghisap rokok Mild. Ini Banda, Pengko, enggak musim lagi hisap rokok pucuk nipah, kata Pawang Lah dengan bangga menggunakan kata “enggak” dengan pelafalan paling rusak dan paling nampak keacehannya. Menurut akuan beliau, Pawang Lah diajak Wak Lah ke Banda untuk menjadi dukun juga demi memuluskan rencana Pengko menjadi Ketua Warga Himatukulbasin. Aku dibayar oleh kawanmu yang baik hati tapi jelek rupa itu, kata Wak Lah. Tentu yang dimaksud Shakir. Maka tadi pagi telah kutanam batu putih di dekat tempat pemilihan nanti, tenang saja kau, timpal Pawang Lah. Pengko terkesiap, segitunya Wak Lah untukku, katanya dalam hati. Ini masalah persahabatan, Pengko, kata Wak Lah sembari tersenyum berbangga diri.

Dalam suasana yang tegang Pengko sesekali melirik ke arah Wak Lah dan Pawang Lah. Terlihat di sudut ruangan sebelah mulut Pawang Lah berkali-kali komat-kamit tak jelas. Shakir tegang di dekat kotak suara. Maksum, Samaun, dan Maryam terlihat juga tegang. Apalagi pas penghitungan suara, suasana menjadi sunyi dan mencekam.

Suara saling kejar mengejar. Adek saingan Pengko itu duduk dengan wajah kalut tak alang kepalang. Begitu kertas suara tinggal empat lembar lagi, jumlah pemilih keduanya seri. Dan begitu dibuka, tiga suara memilih Pengko, sedang satunya memilih adek itu. Pengko terharu, Shakir berlari sembari menangis ke arah kawannya itu, Maksum bersujud, Samaun pingsan, Maryam ternganga, di depan pintu Wak Lah dan Pawang Lah berteriak gembira, Alkhamdulillah. Semua mata memandang mereka, Wak Lah dan Pawang Lah berlari tunggang langgang karena malu tak alang kepalang.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.