PERISTIWA tragis itu terjadi di Goh Bambang, kawasan perladangan di kaki Gunung Seulawah Inong. Pagi itu, delapan petani lelaki-perempuan yang sedang memanen cabai di lahan mereka, tiba-tiba dikejutkan oleh kehadiran sepasang gajah. Para petani kaget dan lari ke segala penjuru untuk mencari perlindungan di alur-alur gunung.
Malang menimpa Marsinah dan Munir. Pada saat kawan-kawannya tengah berlarian, keduanya kebetulan sedang berada di atas balai-balai (jambo ladang) tengah menyantap sarapan pagi. Ketika mereka hendak turun dari jambo untuk berlari sebagaimana yang lain-lainnya, seekor dari sepasang gajah itu kebetulan sedang berada di bawah jambo.
Sang gajah yang merasa terganggu oleh teriakan-teriakan histeris di atas jambo, tiba-tiba menjadi beringas hingga merobohkan balai-balai tersebut. Marsinah dan Munir terkapar ke tanah bersama robohnya rangkang mereka. Saat itulah mereka terinjak oleh gajah tersebut. Marsinah terinjak di kepala. Munir terinjak di perut.
Menurut keterangan, dua ekor gajah itu tengah dalam musim kawin sehingga mereka memisahkan diri dari kawanan dan memilih tempat agak ke pinggir rimba. Mereka datang mencari kawasan aman untuk kawin. “Kalau sempat dihalau dengan santun tanpa ribut-ribut, tentu tak jatuh korban seperti ini,” kata yang menerangkan.
Sementara seorang warga lainnya mengatakan, “Walaupun bagaimana, ini tetap ada pengaruhnya akibat semakin sempitnya habitat gajah-gajah itu.”
Dan setelah setahun berlalu, musim kawin po meurah kini tiba lagi. Gajah jantan dan gajah betina itu kini lagi-lagi berada di tepi rimba, yaitu wilayah aman untuk ritual serupa.
Tapi tiba-tiba timbul teriakan nyaring, bahkan lebih nyaring dan ramai dari teriakan para peladang tahun lalu. Namun pasangan gajah itu tidak bereaksi apa-apa. Tenang saja. Seolah tak mendengar apa-apa.
Masalahnya teriakan kali ini tidak berasal dari petani, tapi dari pengembala gajah, yaitu si Pengembala Allan Nairn yang memiliki gajah-gajah keturunan species gajah pekelahi.[]