Kucing dan kucing berantam memperebutkan sepotong ikan asin. Ayam masuk menyusup di celah-celah mereka bergelut dan mencuri potongan ikan asin itu. Dalam pada itu, ayam adalah pihak yang beruntung, sedang kedua kucing hanya menjadi penonton kala ayam mematuk-matuk ikan itu dengan luka yang sakitnya tak tertanggung. Maka kucing sama-sama akan menaruh dendam di kepala pada kucing lainnya.
Mereka akan berseteru lagi nanti. Kala kucing dan kucing itu berseteru, yang terganggu adalah telinga orang kampung. Yang gedebam gedebum adalah atap seng orang kampung, yang rusak adalah atap rumbia orang kampung. Ayam kemudian lepas tangan dan mencari ikan asin yang lain pula di kedai sayur mayur warga. Sedang kucing terus ribut, terus bercakar-cakaran, berdarah-darah. Jika kucing dan kucing belum berhenti bertengkar, maka yang akan turun tangan adalah warga yang kejam. Barangkali kedua kucing akan diusir dengan pentungan dan gagang penyapu, atau bisa jadi kucing yang satu yang akan kena timpuk, sedang yang satu lagi lari tunggang langgang tak tahu tujuan.
“Begitulah fenomena yang sedang dan akan terjadi di kampung kita ini yang indah ini, Pengko,” kata Wak Lah pada suatu siang kala mereka sedang duduk di balai desa. Pengko baru saja pulang kampung karena sedang libur kuliah. Si tampan yang dari tadi asik menatap rimbun perdu yang di dalamnya ada burung-burung bermain, mengalihkan pandangannya pada Wak Lah. Benar sekali pendapat Wak Lah menurutnya. Dua kucing politik itu sedang berseteru di Banda. “Lalu, sebaiknya bagaimana kita menganggapinya, Wak?” Tanya Pengko pula.
“Semua terpulang kepada masyarakat kita. Bak kata-kata yang pernah melekat di kaca-kaca mobil, di dinding-dinding papan, di kantor-kantor para berpakaian hijau macan, ketika kampung kita perang, Damai Itu Indah. Masyarakatlah yang kemudian mesti memilih apa yang boleh terjadi dalam lautan kehidupan kita nanti. Masyarakatlah yang menentukan apakah kita akan terus menjaga damai, atau ikut salah satu kucing itu sehingga tak pelak perang dan darah akan kembali berlumuran di tanah ini.” jawab Wak Lah sembari menghisap rokok nipahnya berkali-kali dan menyemburkan asap putih.
“Wak Lah pilih siapa pada Pilkada kali ini?” Tanya Pengko lagi.
“Oh, itu rahasia, Pengko. Meskipun kita bersahabat, aku tak akan membocorkan rahasia pilihanku nanti.”
“Tapi Wak Lah sudah memberikan KTP pada Cut Kasem. Jelas sudah bahwa Wak Lah akan memilih calon yang diusung lelaki itu.”
“O, anak muda. Sebaiknya ucapanmu yang terlanjur berpinak tadi kau tarik kembali. Jangan pernah kau berpikir bahwa memberikan KTP atau mengambil semua pemberian dari calon dewan itu bisa membeli keteguhan hatiku. Aku punya pilihan sendiri dan itu adalah kesempatan memperbaiki gizi. Jika saja kali ini para khalifah hidup lagi, aku akan memilih mereka. Namun sayang, yang telah tiada tak mungkin hidup kembali. Takdir telah tersurat di Azali. Sebab mereka tak mungkin lagi ada, aku akan memilih calon yang amanah saja. Bukan yang bersikap seperti kucing tadi, memperebutkan sepotong ikan asin demi kepentingan perutnya sendiri. Dan bukan seperti ayam, mencuri ketika ada kesempatan. Jika yang kumaksud itu tak ada, maka aku akan menjadi salah satu anggota golongan putih. Itu lebih baik barangkali.”Ucap Wak Lah.
Pengko hanya mengangguk membenarkan. Dalam hati ia berkata, mungkin ia akan ikut seperti Wak Lah. “Yang kutakutkan adalah jika kucing dan kucing nanti apabila kalah akan kembali meributkan ikan asin lagi. Orang kampung kita cepat sekali terasuki fitnah, Wak.” kata Pengko.
“Itulah, terpulang semua pada kita jelata ini. Semoga kita tidak terpengaruh lagi.”
“Semalam aku bermimpi di kampung kita ini ada ayam jantan berkelahi.” kata Pengko.
“Berapa ayam?” Wak Lah sumringah.
“Dua, Wak.”
“Aku permisi dulu, Pengko. Mimpimu itu isyarat nomor untukku hari ini. Terimakasih. Jika nanti nomornya keluar dan aku menang, nanti malam kita akan pesta besar. Alhamdulillah.” ucap Wak Lah senang sekali dan berlalu hendak membeli nomor yang dimimpikan Pengko tadi.[]
Ikan memang sering jadi bahan rebutan