Do, Re dan Mi, tiga lelaki warga Gampong Tepi Paya sigap melangkah kaki sejarak dua kilometer menuju ke kawasan persawahan di perbatasan desa. Do mengusung gulungan jaring di bahu, sementara Re dan Mi menenteng galah-galah pendek dan buntelan-buntelan kecil berisi barang-barang keperluan mereka di sana.
Sementara di tempat berbeda, Gampong Paya, dua lelaki, Fa dan Sol juga tengah sigap melangkah kaki menuju ke kawasan persawahan batas ujung desa mereka. Fa juga mengusung gulungan jaring di bahunya sementara Sol menenteng buntelan karung berisi barang-barang kecil seperti galah pendek, pisau dapur, tali-temali dan lain-lain. Begitu juga di sudut lain, tiga lelaki lain lagi, yaitu La, Si dan Do Tinggi, juga sedang dalam aktivitas yang sama.
Mereka adalah tiga kelompok dari desa bertetangga. Arah langkah kaki mereka sore itu sama, yaitu sama-sama tengah menuju kawasan rawa-rawa yang ada di tengah keluasan persawahan tiga desa tersebut yang dikenal dengan rawa Paya Beureukiek. Di rawa-rawa yang di atas segenap permukaannya ditumbuhi ilalang ngom dan ilalang rabo ini, mereka segera tenggelam dalam urutan kegiatannya.
Setiap kelompok mengambil posisinya masing-masing. Mereka memang tidak saling berkoordinasi. Hanya kebetulan saja aktivitas mereka saat itu berlangsung pada waktu yang sama di tempat yang tiada beda. Memang kekebetulanan seperti itu sering terjadi antara tiga kelompok yang di kawasan tersebut sudah sangat dikenal sebagai kelompok pemburu burung hingga di wilayah itu tercipta suatu adagium yang bunyinya, “Nyanyikan tangga nada do, re, mi, fa, sol, la, si, do, maka burung-burung rawa akan punah di muka bumi.”
Demikianlah sore itu, mereka mengambil posisi masing-masing dengan urutan aktivitas yang kebetulan sama, memasang jaring pada dua galah panjang yang ditancapkan di tanah; merapikan rentangan jaring; berjalan sekira duaratus meter dari seberang jaring dengan seutas tali nilon yang telah dikaitkan tiga kaleng berisi kerikil, direntangkan di antara batang-batang ilalang; memegang ujung yang satu, sementara teman yang lain memegang ujung lainnya, dan lalu rentangan tali itu dihentak-hentakkan agar tiga kaleng berisi kerikil terpanting-panting hingga mengeluarkan bunyi nyaring. Dan itu dilakukan sambil terus berjalan selangkah demi selangkah ke arah hadangan jaring.
Pada saat keriuhan mengusik ketenangan kawasan rawa-rawa, tentu penghuninya yang biasanya terdiri dari burung-burung payau atau burung rawa-rawa seperti, munom, langkubee, beureukiek, bakoh dan bruak akan kocar-kacir berterbangan dan mencari jalan untuk langkah seribu. Pada saat inilah biasanya burung-burung yang ketakutan itu terbang tanpa pikir panjang hingga menerjang jaring yang telah direntangkan para perusuh yang nama-nama mereka persis seperti nama nada dasar atau tangga nada dalam dunia seni suara dan seni musik sehingga, ulangi, di kawasan itu berlaku sebuah pameo, “Nyanyikan tangga nada do, re, mi, fa, sol, la, si, do, maka burung-burung rawa akan punah di muka bumi.”
Paya Beureukiek yang luasnya sekira 90 hektar dan terletak dalam kawasan persawahan perbatasan dua kecamatan itu dihuni oleh beragam burung rawa-rawa. Para lelaki muda dari tiga desa perbatasan itu kerap menghabiskan waktu senggang mereka, baik dari aktivitasnya sebagai petani atau pekerja lain untuk menjaring burung-burung itu di rawa-rawa ini. Para penjaring yang biasanya berangkat pukul empat sore hingga pukul tujuh magrib, atau berangkat pukul lima subuh hingga pukul delapan pagi menjadikan burung-burung tangkapan itu sebagai penambah pemasukan bagi pendapatan rumahtangga.
“Di pasar kemukiman kami seekor burung munom laku dijual sepuluh ribu; beureukiek dan bruak juga sepuluhribu per ekor; bakoh tujuh ribu per ekor; sedangkan burung yang berharga paling mahal adalah langkubee, dia sampai duapuluh ribu per ekor, itu karena badannya agak besar dan dagingnya lebih enak dibandingkan burung-burung lain,” kata Do memberi keterangan kepada Tim Penyelamat Burung-burung Rawa.
“Bahkan yang paling sering adalah, kalau burung-burung itu sudah terjaring, kita tak perlu membawanya ke pasar kemukiman, tapi agennya langsung datang ke kampung kita ini untuk membelinya. Daging burung-burung paya sangat diincar oleh pemilik-pemilik warung nasi,” sambung Do.
Lanjut dia, bila usaha menjaring burung sawah dijadikan sebagai penambah pendapatan keluarga, mereka bisa menghasilkan sekira Rp 50 ribu hingga Rp 100 ribu per sekali menjaring yang hanya memakan waktu empat sampai lima jam itu. Tetapi, katanya lagi, usaha menjaring burung paya tidak dapat dijadikan sebagai matapencaharian, karena keberadaan burung-burung itu dalam kawasan rawa-rawa tersebut hanya bersifat musiman. “Biasanya pada waktu musim tanam padi burung-burung itu banyak terdapat di rawa-rawa, selebihnya tidak,” terang Do.
Lagi pula menurut dia, semakin lama rasanya keberadaan populasi burung-burung payau di rawa Paya Beureukiek semakin menyusut. Setahun lalu, sekali datang menjaring, paling kurang mereka mampu membawapulang sepuluh hingga duapuluh ekor burung rawa dari berbagai jenis. Sedangkan pada musim tanam tahun ini, hasil tangkapan mereka paling banyak tujuh ekor per sekali menjaring. “Malah lebih sering pulang-kosong,” pungkas Do memperjelas gambaran fenomena penyusutan populasi beureukiek, munom, bakoh, bruak dan langkubee di rawa Paya Beureukiek.
Ketika kepada Do digambarkan usaha penyelamatan burung-burung rawa oleh juru bicara Tim Penyelamat Burung-burung Rawa, Do memberikan gambaran bahwa, itu barangkali hanya ada dalam program penyelamatan Tim Penyelamat Burung-burung Rawa. Tetapi di sini, dalam faktanya setiap hari, burung-burung dijerat, ditangkap, disembelih, disiangi kulit-bulunya, digoreng dan seterusnya. Sementara, ketika dihadapkan pada gejala-gejala penyusutan populasi mereka seperti di Paya Beureukiek, itu terserah pada urusan alam, mekanisme ekosistem dan takdir semesta. “Bak kamoe ureung jareeng beureukiek, nyan hana urosan..!”
“Apa kira-kira solusi yang dapat membuat anda dan rekan-rekan berhenti menangkap burung-burung rawa?” tanya juru bicara Tim Penyelamat Burung-burung Rawa yang difasilitasi sebuah NGO luar negeri itu.
Jawab Do, “Berserulah kepada orang-orang di daerah sini agar mereka berhenti menyanyikan tangga nada do-re-mi-fa-sol-la-si-do setiap datang waktu makan, maka kami pun akan berhenti menjaring burung-burung rawa.”■