Demo

Aku suka demo. Kau? Tidak. Kenapa? Saya suka kok. O, kirain enggak suka. Banci amat. Aku tak suka demo. Yah, kenapa? Ya.. Lihatlah. Di mana-mana demo. Di bawah panas, suara parau, yang didemo tetap saja tak ada perubahannya. Demo tak berpengaruh. Ah, kamu cengeng. Bukan. Kau lihatlah pendemo. Pentungan polisi. Bogem mentah. Tapak sepatu. Gas air mata. Ada-ada saja yang aparat lakukan untuk menghentikan pendemo. Masih tak percaya? Lihatlah di tivi setiap hari. Apalagi belakangan ini.

Kau lihat kemarin di ibukota. Pendemo meminta turunkan pemimpin yang telah berbohong. Kok bengong? Takkah kau mengerti maksudku? Ya, ya. Saya paham. Bapak yang Es Es itu kan.. Ya aja lah. Oke. Mahasiswa mendemo. Polisi pun selalu setia mengawal aksi demo. Tapi kemarin, aparat yang seharusnya mitra masyarakat itu malah memukul rakyat; mahasiswa. Apa kau lihat semalam di salah satu tivi swasta? Oh, saya terlalu cepat tidur. Maaf. Ah, kau. Payah. Seharusnya kaulah yang pantas dibilang banci. Hehe. Maaf kawan, jangan marah. Aku bercanda.

Kembali ke demo. Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri, mahasiswa itu ditendang, dibogem, diseret, dan sebagainya. Alasan mereka gampang saja; bertindak anarkis. Yiii, ngeri ya polisi di negara kita. Yah, baru tahu kau? Enggak juga sih. Saya baru sadar kembali sekarang, kalau polisi itu suka bentrok sama pendemo. Baguslah kau sadar. Ya, begitulah nasib pendemo. Tuntutan tak diterima, fisik tersiksa, pikiran merana.

Adakah cara yang tepat melakukan demo? Hmm… Ya, mungkin kita harus melakukan seperti era reformasi, 1998. Benar! Ya, kita harus melakukannya seperti saat mahasiswa menduduki gedung MPR/DPR, menurunkan rezim Bapak yang Es Es itu juga. Ya, mungkin itu solusi tepatnya.

Bila seluruh polisi dikerahkan? Ah, gampang saja. Kita ajak semua mahasiswa senegeri ini. Kumpulkan. Lalu rame-rame menyerbu istana yang dihuni Bapak yang Es Es itu. Jika pun polisi menyerang, kan tak semuanya kena. Pasti sebagian tak kena. Merekalah yang beruntung dan menjadi pahlawan jika menang. Bukan begitu? Ya, juga. Mantap juga idemu. Enggak juga. Inikan aku contoh apa yang telah senior-senior kita lakukan dulu. Mungkin berhasil. Ah, kamu.

Eh, kawan. Ngomong-ngomong, kamu setuju kalau Bapak yang Es Es itu diturunkan sekarang. Bukankah di periode pertama memimpin ia dielu-elukan? Ah, aku amat setuju. Bisa jadi bagusnya ia memimpin di periode pertama karena ia mencari perhatian rakyat. Sehingga di periode kedua ini ia bisa dengan leluasa memimpin semaunya. Lihatlah ketika ia menerima upahnya yang tak naik-naik–nominalnya masih seperti semula–ia memprotesnya. Kan aneh itu?! Padahal bila dipikir-pikir, Bapak Es Es itu banyak uang masuknya dibanding upah yang seharusnya diterima. Ya, kamu benar. Saya percaya itu. Setuju banget.

Ya, sudahlah kalau begitu. Kita istirahat dulu. Besok kita harus mendemo lagi. Aku suka demo. Kau? Saya juga. Apa itu kau kata dari lubuk hatimu yang paling dalam? Iya. Luar dalam bahkan. Oke, aku juga. Selamat istirahat guna mengumpulkan kekuatan dan keberanian untuk mendemo Bapak yang Es Es itu esok. Sama-sama.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.