Shakir sedang merasakan jatuh cinta pada perempuan bernama Jingga. Sebagai penyair yang melankolis, Shakir merasakan perasaan itu benar-benar membuat jiwanya gemuruh. Ia menangis tersedu-sedu bila rindu. Sering sekali tiap malam ia menatap awan hitam pekat lalu menunjuk ke sana. Jarinya berpindah-pindah seakan sedang menghitung sesuatu.
Di langit tak ada bintang, namun ia merasa angkasa sedang bertaburan planet segi lima. Ia menulis berpuluh-puluh puisi dan kembali menangis bila mengenang belum sempat diberikan sesuatu yang berharga untuk Jingga. Dan sebab perbedaan sikap Shakir itu, maka Pengko merasa perlu membantu.
Dikirimi Maksum, Anjali, dan Samaun surat yang berisi kabar perbedaan sikap Shakir. Celaka, Anjali sedang malaria, Samaun baru saja digigit anjing lengannya, Maksum tak berkabar dan baru berkabar setelah sepekan surat Pengko terkirimkan. Begini isi balasan Maksum.
Menemui Pengko yang rupawan tak alang kepalang, kukirimi sepucuk pesan kepada Shakir yang merasakan cinta yang besar. Kawan, andai pemimpin kita merasakan cinta kepada rakyatnya seperti Shakir mencintai Jingga tentu nasib kita sebagai rakyat tak akan merana. Andai pemimpin kita menangis acap kali mengenang rakyatnya yang sengsara dan karena ia belum mampu memberi rakyatnya kebahagiaan, tentulah kita yang rakyat ini tak akan kesusahan. Namun, adakah pemimpin kita demikian?
Kadang kala aku merindukan pemimpin yang selalu menghitung kekayaannya seperti Shakir menghitung bintang dan kemudian pemimpin memilah uang untuk rakyat dan untuknya. Andai saja, Pengko. Semua andai saja. Pengko, apakah yang akan kita pilih nanti ada yang seperti Shakir mencintai Jingga? Jika saja ada maka aku bersedia berbasah-basah, berpanas-panas dan berkorban jiwa raga untuk mendukungnya. Sekian saja Pengko. Salam tabah untuk Shakir yang hebat dalam cintanya. Jangan juga kau lupakan utangmu padaku tempo hari yang sudah tiba tenggatnya. Salam, Maksum yang perhatian pada kawannya.
Pengko terharu membaca surat kawannya. Andai saja Koran membuka ruang khusus untuk surat yang panjang dan genius dan akan dikirimkan khusus ke haribaan pemimpin, tentu saja Pengko telah mengirim surat Maksum itu. Namun, apalah boleh dikata, Koran begitu sempit ruangnya. Maka, mulai sejak itu Pengko ingin sekali membuat Koran sendiri dan khusus menampung surat untuk pemimpin negeri.
Pengko menemui Shakir yang sedang berdiri menatap foto di dinding kamarnya. Foto Jingga. Air matanya tak putus-putus mengalir sebab rindu mengganggu batinnya tanpa kenal waktu. Shakir sedang berkata pada foto itu, ”mungkin mata abang telah dibalut lensa jingga, apa pun yang abang lihat seakan berwarna jingga. Kamar seakan jingga, kipas angin jingga, lampu jingga, kaca jingga, gelas jingga, rokok mild jingga, buku jingga, bahkan rambut Anjali yang kribo afrika pun berwarna jingga di mata abang ini, Jingga.”
Pengko teringat pada analogi isi surat Maksum. Andai pemimpin dibalut matanya dengan lensa rakyat, tentulah ia memandang mobil seperti memandang rakyat, kipas angin rakyat, rumah rakyat, sepeda motor rakyat, uang rakyat, baju rakyat, celana rakyat, baju dalam dan celana dalam rakyat, dan hingga ia memandang dirinya sendiri adalah rakyat. Lalu ia akan berpikir bahwa semua yang ada pada dirinya adalah milik Tuhan dan rakyat. Ah, adakah yang akan kita pilih nanti ada yang seperti itu? Shakir pingsan sebab menanggung rindu, lalu kerasukan setan. Parah, setan yang masuk ke tubuhnya adalah sejenis kuda lumping. Habis semua gelas dan meja kamar itu dilahapnya, bengkok giginya. Ah, Shakir yang tersiksa.[]