“Assalamualaikum bang Said. Kenapa banyak kambing putih di sini?”
“Waalaikum salam Dokaha. Saya kesulitan mencari kambing hitam. Yg ada kambing putih, ya terpaksa saya beli juga, daripada tidak ada sama sekali …”
“Tapi Bang, kenapa ada cat hitam?”
“Wahai Do, kenapa tidak mengerti juga? Sekarang permintaan kambing hitam meningkat tajam, persediaan tidak mencukupi. Jadi terpaksa kambing-kambing putih kucat hitam…”
“O, gitu Bang. Lalu kenapa jadi berurusan dengan kambing-kambing ini?”
“Itulah. Soalnya, kini banyak orang dikambing hitamkan bukan?”
Dendam kesumat, bisa dikambing hitamkan. Lalu diperkarakan. Sekarang apa saja urusan, ya, tidak berkenan, gara-gara bela korps, sakit hati kalah pilkada, ada petugas hukum bawa kabur meubel rumah dinas, lalu tidak terima. Mengadu ke atasan. Jadilah biang kerok perkara ke pengadilan. Lalu tuduhan bisa macam macam-macam. Entah korupsi, entah demon, entah urusan gaji, pangkat, entah apa lagi, pokoknya ramailah.
Nah, cilakanya, itu pejabat, mantan pejabat diperas dulu. Istilahnya, sedang makan bubur di pinggir pinggirnya dulu… Setelah puas, baru dicokok.
“Wah, gawat betul situasi hukum negeri ini Bang.”
Kau pahamlah. Hukum rimba. Maka mau jadi bupati, walikota, gubernur, bersiaplah jadi kambing hitam.
“Jual berapa Bang seekor?”
“Tdk mahal, paling murah Rp 5 milyar.”
Cek cek cek…[]